Kalau ditanya, pendakian gunung yang gak bisa dilupain? Jawabanmu gunung mana?
Saya akan menjawab, pendakian ke gunung Slamet. Alasannya sederhana, pendakian yang saya lakukan pada bulan Agustus 2018 tersebut adalah puncak perdana saya.
Kalau kamu pernah baca buku The Naked traveller, karya kak Trinity, kamu mungkin gak asing dengan kalimat "Pengalaman pertama haruslah menyenangkan".
Namun, pada pendakian perdana yang saya lakukan ke Gunung Slamet mengalamai kegalalan mencapai puncak.
Penyebabnya adalah kurangnya persiapan yang saya lakukan. Alhasil, tenaga sudah habis dan logistik tidak memungkinkan untuk memaksakan diri.
Pada pendakian perdana tersebut, saya hanya berhasil mencapai pos 3 gunung Slamet via Bambangan.
Tapi untuk pertama kali, udah bagus lah ya.. Setuju gak?
Kegagalan pada percobaan pertama mencapai puncak tidak menjadikan saya menyerah. Namun malah sebaliknya. Semangat saya untuk mencoba lagi mencapai puncak semakin membara.
Hingga pada akhirnya saya berhasil mencapai puncak gunung Slamet pada percobaan pendakian yang kedua kalinya.
Berbekal kegagalan pada percobaan pertama, menjadikan saya untuk memikirkan lebih matang terkait pendakian.
Ditambah lagi, pendakian kedua tersebut saya didampingi dengan 'Anak Buah Ayah' bernama Mas tono.
Bertaruh hidup dari jalanan membuat Ayah saya memiliki banyak kenalan yang senasib dan tengah berjuang bersama, dan mas Tono adalah seseorang yang membantunya dalam berjualan.
Dari segi umur, mas Tono memang jauh lebih muda dibanding Ayah saya. Sehingga mas Tono teramat menghormati Ayah saya.
Pendakian Gunung Slamet Jilid 2
Kecintaan saya terhadap dunia pendakian ini bermula dari gunung Slamet. Yap, gunung tertinggi di jawa tengah.
Makanya, kalau ada teman yang bertanya rekomendasi gunung yang cocok untuk pemula itu apa?
Saya tidak akan menjawabnya secara singkat. Gunung A, B, atau C, pasti
dengan penjelasan.
Rasanya setiap gunung yang ada di dunia ini cocok-cocok saja untuk para pemula. Saya aja memulai kiprah di dunia pendakian dari gunung slamet.
Gunung yang notabene tertinggi di jawa tengah. Memiliki karakteristik yang cukup menantang, apalagi ketika summit attack. Kurang pas untuk para pemula.
Tapi yang punya peranan penting adlaah partner. Selama kita mendaki, kita diharuskan menjaga satu sama lain.
Kalau partner pendakian kamu egois. Udah kebayang bakalan gimana?
Jadi, apapun gunungnya yang akan kawan daki, usahakan pilih teman/partner pendakian yang tepat.
Niscaya gunung apapun akan terasa lebih ringan, beda ceritanya kalau kawan salah dalam memilih partner pendakian.
Gunung seringan apapun bakalan terasa
berat dan mangkel (bahasa jawanya kesel).
Memang puncak gunung
slamet merupakan puncak pertama saya di dunia pendakian. Tapi, saya bisa
mencapai puncak gunung slamet ini ketika dua kali mencoba mendaki. Percobaan
pertama bersama kaka sepupu, cuman bisa sampai ke pos 3 saja. Karena kurangnya
pengetahuan dan perbekalan dan hal lain yang tidak bisa saya ceritakan.
Percobaan pendakian
kedua bersama mas tono. Mas tono ini merupakan teman dekat ayah, dia yang
membatu ayah saya berjualan, mungkin sudah dianggap seperti adik sendiri oleh
ayah saya. Waktu itu, agustus 2016 tepatnya pada tanggal 16. Saya dan mas tono
berangkat mendaki ke gunung slamet via bambangan, karena kali ini ditemani oleh
seseorang yang lebih senior di dunia pendakian. Jadi, saya merasa aman,
perbekalan lengkap, tinggal gimana nanti mental saya yang diuji.
Kami ngetrek di
malam hari, sekitar jam 9 malam. Waktu itu jalur yang melewati “View Slamet”
belum ada, sekarang jalur itu terkenal dengan jalur baru, dan yang kami lalui
waktu itu adalah jalur lama. Pertemuan diantara dua jalur ini bertemu di atas
pos bayangan jalur lama, sekarang pos bayangan itu dipindah ke pertemuan antara
slamet jalur baru dan slamet jalur lama. Kalau penasaran, hubungi saja saya,
insha allah siap mengantar.
Balik lagi ke cerita
pendakian saya dan mas tono. Pendakian itu kali kedua saya mendaki gunung
slamet, setelah yang pertama gagal karena kurangnya persiapan dan ilmu
pengetahuan. Pendakian kali ini saya lebih siap, dan tidak cuman modal nekat.
Meskipun gear pendakian saya pada
waktu itu belum lengkap. Tapi, semua itu bisa dicover oleh mas tono.
Belum lama kami
meninggalkan basecamp bambangan, saya sudah merasa pegal dan sakit, sehingga
saya meminta berjalan perlahan, kerap kali break. Disitu saya
merasakan kesabaran yang sangat luar bisa dari mas tono, dia berjalan
mengimbangi saya, layaknya seorang leader yang peduli pada anggotanya.
Ketika kami sampai di
pos bayangan mas tono menyeduh the panas dengan gula yang sangat banyak.
“gulane sing akeh kie ya
lip, karo nggo tenaga” katanya
“manut bae aku mas”
Mas Tono ketika trekking salah satu bukit di Purbalingga |
Setelah minuman hangat
jadi, kami sedikit mengobrol sembari menghisap rokok. Di sela-sela perbincangan
kami, ada dua orang pendaki asal bogor, dan pendakian ini pertama kali bagi mereka
ke gunung slamet. Dengan segera, mas tono menawarkan untuk mendaki bersama. Sejak
saat itu, saya termotivasi lebih besar dan kuat untuk terus berjalan dan
mengalahkan rasa lelah yang kerap kali datang.
Pertama karena saya
ingin menggapai puncak gunung slamet – yang kedua, karena saya malu. Masa
pribumi kalah sama pendatang, motivasi yang membuat saya bisa lebih kuat dalam
berjalan. Ketika perjalanan menuju tempat camp (pos 5) perjalanan
kami terasa biasa-biasa saja, tak ada hal yang aneh-aneh.
Karena momentum 17
agustusan (terkenal dengan upacara puncak) jadi pendaki membludak hebat di
gunung slamet waktu itu. Hampir setiap pos yang kami lewati itu penuh dengan
tenda pendaki, sampai-sampai pos 4 yang dilarang karena mitosnya -- pun ramai
dengan tenda pendaki. Karena di pos 4 waktu itu sedang ramai, jadi kami (mas
tono, saya dan dua pendaki dari bogor) beristirahat lumayan lama disitu.
Saya dan salah satu
pendaki dari bogor itu seumuran, sementara satunya lagi seumuran dengan mas
tono. Semacam alif dan tono dari bogor, begitulah kira-kira. Jadi saya dan alif
bogor itu duduk terdiam sembari menyenderkan tas carrier yang kian lama
beratnya seperti sekor gajah raksasa. Sementara mas tono dan tono bogor
mengobrol dengan sesama pendaki yang ada di pos 4 waktu itu.
Ketika berada di pos 4
ini saya teringat cerita ayahku, begini ceritanya : “neng pos 4 kue ya
lip, ayah pernah ngaso nang wit gede. Nang kancane ayah, dikon mlaku maning,
jarene ngaso suene nang pos 5 apa seurunge. Intine aja pas neng pos 4. Mbarang
uis tekan neng gon tempat ngaso, kancane ayah mau cerita. Yen neng nduwure ayah
kue ana macan sing uis siap arep nerkam, mbuh macan temenan apa macan luhur,
ora paham”
Selain cerita dari
ayahku, saya juga teringat mitos-mitos yang pernah terjadi di pos ini. Katanya
kalau ada yang camp di pos 4 ini, ketika tengah malam akan ada pendaki yang
meminta air atau menganggu tenda kita. Nah, ketika pintu tenda di buka,
ternyata pendaki itu tidak ada kepalanya. Ternyata kepalanya berada di dalam
tenda.
Ada banyak sekali
mitos-mitos tentang pos 4 ini. Pos 4 ini bernama “pos samaranthu” menurut mitos
yang beredar arti dari nama pos 4 ini adalah samar-samar hantu. Padahal,
menurut senior saya di sispala dulu, samaranthu ini adalah nama pohon, bukanlah
samar-samar hantu.
Seketika, mas tono dan
tono bogor membangunkan saya dan alif bogor. Mengajak untuk melanjutkan
perjalanan lagi sampai ke tempat camp yang sudah kami sepakati di awal, yaitu
pos 5. Singkat cerita kami sampai di pos 5, dan keadaannya sudah sangat penuh
dan sesak. Rasanya tidak mungkin untuk mendirikan tenda.
Mas tono dan tono bogor,
berkeliling mencari tempat untuk kami beristirahat. Sementara saya dan alif
bogor tertidur di pangkuan carrier yang nyaman dan setia ini. Entah berapa lama
kedua orang itu mencari tempat, alhamdulillahnya masih dapat tempat yang cukup
untuk mendirikan satu tenda, walaupun tempatnya tidak rata alias miring.
Akhirnya tenda dari
rombongan bogor ini yang di dirikan dan flysheet yang lebar juga dipasang.
Nantinya saya dan mas tono akan tidur di luar tenda beratapkan flysheet,
berselimutkan sarung dan suara sunyi alam di pagi itu. Setelah semua beres,
kami sedikit masak-masak untuk pengganjal agar tidur kami nyenyak, karena nantinya
kami harus melanjutkan perjalanan lagi, Summit attack!!
Trek ketika summit attack, terkenal dengan watu urip |
Ketika saya akan
memejamkan mata, terlihat cahaya indah yang berusaha masuk ke dalam hutan melalui
celah-celah diantara rimbunnya pepohonan. Yap, sunrise pertama saya, indahnya
tidur saya waktu itu, ditemani dengan mentari yang kembali bertugas menyinari
dunia ini. Selamat tidur.
Sebentar ya, saya
seruput dahulu secangkir kopi sachetan dari warung kong rohman
ini sembari mengisap rokok filter ketengan. Kulihat satu-persatu wajah kawan
saya di tongkrongan itu, mereka terlihat antusias dan tak sabar mendengarkan
kelanjutannya.
“sudah ya tak usah
dilanjutkan lagi ceritanya” kata saya dengan menggoda
“lanjutin bang…lanjutin,
kentang ! ege” sahut mereka
“selanjutnya mungkin
kalian akan marah dengan saya, makanya tak usah di dengarkan ya” jawab saya
“pokoknya lanjutin
titik” jawab mereka dengan muka yang sudah siap menerkam.
Okelah oke, saya
lanjutkan. Selang beberapa jam terlelap, akhinrya saya kembali terjaga. Sekitar
pukul 07:30 saya terjaga dan bergegas memasak sarapan, egois betul saya waktu
itu, memasak hanya untuk diri sendiri dan makan sendiri.
Setelah itu saya menuju
ke puncak sendiri, karena teman-teman yang lain susah bener di banguninnya.
Sepertinya mereka masih capek sehingga ketika dibangunin susahnya minta ampun.
Karena saya pernah gagal mencapai puncak di pendakian pertama ke gunung slamet,
saya tidak mau hal yang sama terulang lagi jadi saya memutuskan untuk mendaki
sendiri dan meninggalkan teman-teman yang sedang asyik terlelap.
Diperjalanan menuju
puncak ini, saya berjalan seorang diri dan berbekal air minum berwadahkan
veples. Ketika sampai di vegetasi hutan mati, saya bertemu rombongan dari
cilacap, dan akhirnya kami memutuskan untuk mendaki bersama mencapai puncak
surono. Mereka bertiga dan saya sendiri, terciptalah grup baru beranggotakan 4
orang, semuanya laki-laki.
Singkatnya, kami
berempat berhasil mencapai puncak dengan susah payah dan sempat menyerah di
pertengahan jalan. Tapi ada pendaki lain yang memberikan semangat “nanggung mas
bentar lagi sampai puncak, udah keliatan tuh” seketika tenaga kami terisi
kembali, dengan semangat dan motivasi kami menapakan jejak kaki yang lunglai.
Dipuncak kami menikmati
pemandangan dan ber-swafoto demi dokumentasi pribadi, saat itu belum kepikiran
upload di instagram, karena saya pengguna setia facebook. Kami sempat
berbincang, dari sekian banyaknya hal yang diperbincangkan. Saya hanya
mengingat “ternyata puncak cuman kayak gini tok ya mas”.
Ketika, kami akan turun
dan kembali ke tempat camping. Ternyata mas tono dan dua orang teman dari bogor
itu sudah sampai juga di puncak. Akhirnya, saya berada dipuncak lebih lama
lagi, dan kembali ke rombongan awal saya, disitu saya sedikit diceramahi oleh
mas tono, cuman lupa kaya gimana.
Begitulah kisah saya
menngapai puncak gunung untuk pertama kali.
“udah yaa, udah kelar
tuh ceritanya – yang baik lu ambil, yang buruk jangan ditiru. Kalau mau mendaki
gunung, cari partnert pendakian yang sabar dan mengerti, kaya mas tono-lah,
okee”
Saya melihat kesekeliling, beberapa anak tongkrongan ada yang kesel, ada yang minta dianter ke gunung slamet, dan ada yang sedang memesan kopi.
0 Komentar
Bagaimana petualangannya?