
Beberapa waktu yang lalu BEM UMJ mengadakan acara bina desa, tempat yang dipilih untuk melaksanakan kegiatan tesebut adalah desa Ciparempeng. Pada dasarnya saya kurang megetahui tujuan kegiatan dari bina desa ini apa dan kenapa desa Ciparempeng yang menjadi pilihan. Setelah saya coba riset di intenet, ternyata pada tahun baru 2020 terjadi bencana longsor di 3 desa di Desa Cileuksa, Kecamatan Sukajaya, Kabupaten Bogor.
Dampak yang dialami cukuplah besar,
jembatan yang menjadi akses utama harus terputus karena terjangan banjir
bandang pada waktu lalu. Semangat kemanusiaan memanglah harus terus digelorakan
di era sekarang ini, mengingat budaya di negara kita tercinta ini adalah Gotong Royong. Beberapa kawan dan adik
kelas saya sudah lebih dulu mengikuti kegiatan ini, sedangkan saya masih sibuk
mengurusi ini itu di kampus, sehingga belum sempat terjun langsung ke lokasi.
Mendengar cerita dari teman-teman
sehabis selesai dengan berbagai macam kegiatan yang telah dikonsepkan oleh pengurus
BEM UMJ ini, hati saya merasa bergetar dan langsung penasaran ingin terjun
langsung ke tengah-tengah masyarakat. Namun, apalah daya saya tak mampu
melakukan jutsu kagebunshin seperti
di anime Naruto, harus menunggu waktu yang datang dan bersahabat. Sedih memang,
melihat teman-teman berjibaku untuk membantu warga desa bangkit dari
keterpurukan dan bisa hidup normal seperti sedia kala.
Waktu-pun terus berjalan, dan
keinginan untuk pergia kian membesar, ketika saya dan beberapa teman termasuk
adik kelas (maba) sedang asyik bercengkrama ditemani nada sumbang dan kopi
hitam bak anak senja dipinggir pantai. Salah seorang kawan menceritakan kembali
pengalaman berharganya terjun langsung di masyarakat, karena kita nantinya akan
bermuara di masyarakat juga. Semangat tolong-menolong harus mulai dipupuk
sedari sekarang agar tidak kaget di kemudian harinya.
Seketika kami berfokus pada cerita si
Wildan ini, nada sumbang tak terdengar lagi. Suasana berubah menjadi sunyi
layaknya prosesi mengheningkan cipta sewaktu upacara bendera zaman SMK dahulu.
Saya melihat para adik kelas ini sangat semangat mendengar dan sedikit tergugah
jiwa kemanusiaannya untuk ikut serta andil berperan. Memang sih, ceritanya
begitu-begitu saja hampir hafal malahan, naasnya kami tidak pernah bosan
mendengarkan dan ketika cerita rampung di dendangkan semangat kami untuk terjun
ke lapangan kian membara.
Kemudian siwil (panggilan akrab saya)
membeberkan bahwasanya akan ada rencana lagi untuk pergi ke desa Ciparempeng
tersebut, semua sepakat berangkat. Kawan
mlaku paham lah ya tabiat masyarakat kita seperti apa, iyain aja dulu
ketika hari H datang semua akan mundur perlahan. Seperti kisah cinta kamu, yang
harus mengalah dan pergi dengan tenang demi melihat “dia” bahagia dengan orang
pilihannya.
Tanggal 26 Oktober adalah hari
keberangkatan teman-teman ke desa Ciparempeng lagi, mungkin untuk menyelesaikan
pekerjaan yang sempat tertunda disana. Pada waktu itu, saya belum bisa
memutuskan untuk ikut serta atau tidak, karena satu dan lain hal yang tidak
terduga, sehingga belum bisa memberikan kepastian. Makin hari obrolan seputar
desa Ciparempeng kian digelorakan dengan penuh semangat oleh si wil seperti
menanam,membuat fasilitas umum dan yang lainnya.
Karena kami ini adalah anak fakultas
pertanian, mendengar kata menanam para adik kelas langsung hijau matanya udah
kayak dapet rejeki nomplok. Mumpung kuliah juga online dan gak paham betul apa
yang kita pelajari selama zoom, wa grup, atau metode lainnya, lebih baik
praktek langsung, begitu kata mereka. Begitulah kendala yang sedang kami hadapi
selama kuliah ditengah pandemi ini, banyak gak pahamnya tak jarang pula kami
hanya sekedar mengisi absensi yang mejadi prasyarat UAS kelak.
Karena jurusan kami ini lebih
dititikberatkan ke praktikum, banyak mahasiswa yang memiliki kendala serupa.
Gak paham, dan biaya yang digelontorkan untuk membeli berbagai macam keperluan
praktikum juga meningkat drastis, namayna juga hidup. Segala macam kesukaran
yang sedang diberikan harus dijalani dengan tabah dan penuh rasa syukur. Masih
banyak kok, diluaran sana yang memiliki nasib jauh lebih buruk dibandingkan
kami.
Hari yang dinanti-pun tiba, Senin 26
Oktober 2020 mereka berangkat, karena saya masih ada urusan lain yang harus
diselesaikan terlebih dahulu. Dari sekian banyaknya orang yang meng-iyakan
ajakan dari siwil hanya ada 3 orang yang jadi berangkat mereka adalah Qifin,
Faris dan Vita. Mereka ini ditemani oleh wildan tentu saja, masa iya yang
ngajak gak jadi berangkat. Kabar yang saya terima mereka ini berangkat pada
pukul 10:00 namun entah nunggu siapa atau ada problem apa akhirnya mereka
berangkat sehabis isya.
Saya berpesan kepada ke 3 orang itu untuk menjaga Vita
betul-betul, disatu sisi dia adalah seorang perempuan yang harus dijaga dengan
segenap jiwa raga, disisi lain watak dia mirip sekali dengan adik perempuan
saya yang ada di kampung. Mulai dari marahnya,lenjehnya,struktur wajahnya mirip
beberapa persen lah. Semoga saja besok atau lusa saya bisa nyusul, dan ikut
bergabung bersama mereka.
Ke-esokan harinya pikiran saya mendadak tidak tenang dan terus
mengharapkan kabar dari mereka ber-4. Cuman ya, yang kawan mlaku tau sendiri, kalau
di daerah pegunungan sinyal susah sekali didapatkan, kalaupun ada dan gampang
hanya untuk sim card tertentu saja.
Yang ada dipikiran saya kala itu adalah nyusul, nyusul dan nyusul, kekhawatiran
yang begitu besar saya rasakan, semoga saja tidak terjadi apa-apa sama mereka
semua.
Ketika malam hari di saat saya akan berisitirahat saya kembali
kepikiran mereka dan memutuskan untuk nyusul pada tanggal 28 Oktober. Pada
tanggal 28 ibu Vita mengirimi saya pesan singkat yang intinya menanyakan kabar
anaknya tercinta, kapan pulang dan kenapa selama dia berada disana jarang
sekali memberikan kabar ke ibunya. Saya menjelaskan kondisi yang mereka
hadapai, susah sinyal dan lainnya.
Begitulah para orangtua, kasih sayangnya takkan pernah pudar
dimakan waktu, digerogoti kesalahan anaknya, dihancurkan oleh tetangganya. Bagi
para orang tua “anak tetangga boleh tumbuh dan berkembang, tetapi anaknya
sendiri akan selalu dianggap sebagai anak kecil yang perlu perhatian dan kasih
sayang”. Tak heran jika Vita begitu dikhawatirkan oleh ibunya, jangankan anak
perempuan anak laki-laki saja terkadang masih dikhawatirkan dan tak jarang pula
ada peraturan/perjanjian yang dibuat oleh anak dan orang tua.
Setelah beberapa kali, saya mencoba mengirimi pesan kepada qifin
untuk meminta share location. Perlu
waktu yang lama untuk menunggu balasan dari si qifin, gak selama menunggu “dia”
peka dan sadar bahwa saya mencintai “dia” kok. Setelah menerima share location dari qifin langkah
selanjutnya adalah mencari teman untuk menemani saya pergi kesana. Tercetuslah
beberapa naman bocah paling ayok, dan bisa diajak secara mendadak. Awalnya saya
mencoba untuk menghubungi Kuple yang sudah menjadi partner gabut saya sedari semester1.
![]() |
Share location dari qifin |
Tapi, kali ini ajakan saya ditolak, karena waktunya mepet (28
berangkat 29 pulang). Bisanyanya dia mau, selama atau sesingkat apapun ajakan
saya, tumben sekali kali ini ia menolaknya. Alasan kuat saya untuk mengajaknya
karena dia jauh lebih paham medan yang akan kami hadapi nantinya seperti apa,
karena dia sudah pernah pergi kesana. Beberapa nama yang lain juga menolaknya,
ya sudahlah berangkat sendiri-pun tak apa.
Karena saya berprinsip bahwa laki-laki yang dipegang/dipercaya
adalah omongannya, ketika ada faktor internal kadangkala prinsip itu saya
kesampingkan, dan mengikuti kata hati dan keluarga. Pada saat itu hati saya
berkata iya, dan ijin juga diberikan, tak ada alasan lain untuk tidak
berangkat. Siapa tau saya bisa merasakan apa yang Dzawin Nur rasakan travelling seorang diri.
Perjalanan Menuju desa Ciparempeng
Pada awalnya saya berencana untuk pergi di pagi hari, supaya
sampai lokasi siang atau sore hari sekaligus menikmati tenggelamnya sang surya
yang sudah rampung menunaikan tugasnya pada hari ini. Akan tetapi kita hanya
bisa berencana, jalan ceritanya tetap Tuhan yang menentukan. Alhasil saya baru
bisa pergi dan berangkat sehabis ashar atau tepatnya pada pukul 15:45, seusai
menyelesaikan tugas rumah. Menyiapkan stok drip bag kopi keto, oh iya produk
dari kopi keto bisa kawan mlaku nikmati melalui tokopedia,shopee,grab, dan
gojek. Pesan langsung ke saya juga boleh dengan cara menghubungi halaman kontak
yang tersedia di blog ini.
Bermodalkan nekat dan share
location dari qifin saya bersama black panther (motor Vario) pergi
menyusuri jalanan yang sudah lama tak kami susuri lagi selama pandemi. Saya
mengikuti segala instruksi dari google maps dengan perkiraan waktu tiba di
lokasi sekitar 3 jam-an. Selama perjalanan saya menikmati pemandangan dan
segala kejadian yang tak terduga di setiap menitnya. Contohnya ketika akan
turun hujan, sehingga saya harus mampir ke salah satu warteg di daerah Ciseeng
sembari mengisi perut.
Ketika saya menyantap menu yang ada di waktu itu, hati saya terus
berdo’a agar hujan yang turun tidak terlalu lama dan saya bisa melanjutkan
perjalanan lagi, maklum lah cuman modal google maps, kala hujan kan gak bisa
buka HP dan takut nyasar, malah gak tau kemanan nanti perginya. Sejatinya yang
paling saya cintai dari bertualangan adalah proses sampai ke lokasi tujuan,
bukan di lokasinya. Karena di lokasi sudah kebayang dan tertata rapi apa saja
yang akan saya lakukan.
Ketika diperjalanan menuju lokasi ada saja hal yang tak terduga
dan tak jarangn membuat decak kagum. Mungkin pemikiran saya ini sejalan dengan
tokoh Rangga yang ada di “Ada Apa Dengan
Cinta 2” ketika sedang berdialog dengan Cinta, Rangga sedikit menjelaskan
tentang perbedaan travelling dengan liburan. Serampung saya menyantap hidangan
yang tersedia di warteg saat itu, seketika hujan reda dan segera mungkin saya
melanjutkan perjalanan yang masih cukup lama sekitar 2 jam lagi dengan jarak
kurang lebih 50 km.
Selepas itu saya melewati jalanan yang padat dengan pohon pinus,
di beberapa spot dijadikan tempat wisata yang memiliki view lumayan bagus,
sehingga ada nilai jual yang ditawarkan. Saat itu saya sedikit bernostalgia
dengan jalanan yang ada dikampung saya. Kesedihan dan kerinduan makin menjadi
ketika ada momen yang mengingatkan saya akan kampung halaman, masyarakatnya,
keindahan alamnya yang secara tidak langsung ikut andil membentuk pribadi saya
hingga bisa menjadi seperti sekarang ini.
Ketika saya sudah melewati vegetasi itu, perjalanan tinggal 1,5
jam lagi seperti yang tertera di google
maps. Saya semakin semangat dan kian menikmati perjelanannya, ketika senja
datang rasa khawatir mulai timbul. Karena kondisi jalanan yang sudah mulai
gelap dan di beberapa titik tidak ada lampu penerangan sama sekali. Suasana
semakin mencekam layaknya film horor dan game resident evil yang berperang
melawan zombie, dengan segala teknologi dan senjata berat yang mumpuni.
Ketika saya sudah sampai di desa Sukajaya, saya sempat merasa
bimbang apakah betul jalan yang saya lewati ini, ataukah saya sudah di bawa ke
dimensi lain. Untuk menenangkan diri, saya berhenti ke salah satu warung yang
menjual bubur ayam dengan harga yang cukup murah. Satu mangkuk bubur ayam di
banderol dengan harga Rp 5.000, sembari menyantap bubur ayam yang sudah
disediakan, saya sedikit bertanya terkait desa tujuan saya yaitu desa Ciparempeng.
Si bapak pemilik warung bubur ayam menegaskan bahwasanya jalan
untuk ke desa Ciparempeng bukanlah lewat sini melainkan ke arah Nanggung (kalau
tidak salah). Akan tetapi, saya bersikekeh bahwa jalan yang akan saya lewati
ini benar sembari menunjukan google maps di
HP kentang saya. Setelah sekian detik saya berdebat, akhirnya menemukan titik
tengah dari perdebatan itu. Ketika saya menanyakan bahwa desa yang tertimpa
bencana longsor, apakah benar lewat sini jalannya.
Si bapak dan teman-temannya (karena si bapak kurang paham jadi
bertanya kepada teman yang berjualan di dekatnya, menggunakan bahasa sunda
tentunya, yang saya sendiri kurang paham artinya apa) serentak berkata benar,
bahwa jalan yang saya ambil untuk menuju desa ciparempeng ini. Setelah rampung dan
menunaikan kewajiban membayar bubur, saya berpamitan dan melanjutkan
perjalanan. Sempat beberapa kali saya dibingungkan dengan google maps ini, saya dibawa ketengah sawah dan diharuskan melewati
jembatan gantung yang tidak kelihatan bentuknya.
Saya juga sempat bertanya kepada, mas-mas, dan mba-mba yang sedang
mengaji di surau dekat sawah tersebut. Semuanya berpendapat sama seperti bapak
warung penjual bubur tadi, saya harus mengambil keputusan sulit, insting saya
akan jalan harus bisa lebih tajam. Akhirnya saya memutuskan untuk mencari jalan
sendiri, dan alhamdulillah google maps membenarkan
jalan yang saya pilih itu, waktu itu pukul menunjukan 18:30. Masih sore memang,
tetapi untuk menjelajah tempat yang belum saya ketahui sama sekali dan sejarah
tempat tersebut seperti apa, hal itu cukup menguras mental saya.
Sempat kepikiran untuk memutar arah dan membatalkan niatan untuk
meneruskan perjalanan. Namun, hati kecil saya berpendapat “nanggung, sebentar
lagi sampai kok. Yuk bisa yuk”. Singkatnya saya melanjutkan perjalanan dan
merasa bahwa jalan yang saya ambil ini benar mengarah ke desa Ciparempeng. Hal
ini semakin kuat karena saya menemukan kecocokan jalan seperti yang diceritakan
oleh qifin, pada saat ini imaji saya bermain. Seperti halnya, jurang yang tak
terlihat, jalanan surga dan informasi terkait lainnya.
![]() |
Gambaran jalan yang saya lalui ketika malah hari, sehabis hujan |
Pada saat itu saya panik bukan main dan merasakan ketakutan yang
cukup hebat hampir mirip seperti saya mendaki ke gunung salak. Lain waktu saya
akan menceritakan pengalaman pendakian saya ke gunung salak, dengan total 6
orang yang berada di gunung.
Jalanan yang saya lewati itu mirip dengan jalanan yang ada di
pulau sumatra, kanan kiri hutan, belum adanya penerangan jalan yang memadai,
semoga pemerintah segera menyelesaikan masalah ini. Terlebih lagi saya berada
disitu kisaran pukul 19:20, seorang diri. Hanya ditemani tas ransel, dan motor
kesayangan yang senantiasa menemani kemanapun saya pergi. Hingga disuatu titik
saya dikagetkan dengan bongkahan lumpur yang menutupi jalan aspal, “adventureee
dimulai” dalam hati saya berkata demikian untuk membantu saya mengontrol rasa
takut yang sedari tadi mulai menggerogoti mental saya.
Semakin lama semakin mencekam, setelah sekian lama akhirnya saya
bisa merasakan ketakutan lagi. Berusaha tetap tenang, perlahan-lahan saya
melanjutkan perjalanan. Sampai akhirnya disuatu titik saya bertemu dengan 3
bapak-bapak dengan 2 motor. Saya bertanya “pak mohon maaf apakah betul ini
jalan menuju desa ciparempeng ?” bapak-bapak itu serentak menjawab, betul dek.
Alhamdulillah pikiran saya makin tenang. Akhirnya saya melanjutkan perjalanan
lagi, disuatu titik disebuah pertigaan saya melihat sebuah warung yang lampunya
menyala, makin tenang pikiran saya.
Untuk mempersingkat waktu, karena baterai HP sudah sekarat dan
saya tidak membawa powerbank akhirnya
saya langsung melanjutkan perjalanan. Namun naas, motor saya terjebak di
lumpur, dan entah mengapa, saya merasakan bahwasanya ban motor belakang saya
tidak mau berjalan lagi, seakan pertanda bahwa saya harus menyudahi perjalanan
dan dilanjutkan esok hari. Tapi, saya belum menyerah pada saat itu, saya
berusaha menuntun black panther agar terbebas dari jebakan lumpur, semakin saya
paksa semakin hilang tenaga saya dan rasa takut kian menyelimuti.
Akhirnya saya memutuskan untuk berbalik arah, singgah ke warung
yang ada di pertigaan tadi dan berencana menitipkan motor dan melanjutkan
perjalanan dengan jalan kaki. Aneh tapi nyata, ketika saya berbalik arah,
tiba-tiba motor saya mau untuk diajak jalan lagi. Singkatnya saya sampai kewarung
tadi, saya mengetuk pintu dan memperkenalkan diri dan tujuan saya kewarung
tersebut. Ketika bapak yang punya warung itu keluar, saya meminta untuk
dibuatkan segelas teh hangat untuk sedikit menenangkan pikiran saya.
Setelah teh hangat datang, saya sedikit mengobrol dan mendiskusikan
niatan saya untuk melanjutkan perjalan dengan berjalan kaki. Namun, ada
ekspresi aneh yang dihadirkan dari raut wajah si bapak, dengan senyuman ketus
yang ia perlihatkan. Hal tersebut membuat saya bertanya-tanya ada apa sebenarnya.
Bermalam dirumah Abah Budi
Tak lama si Ibu istri dari si bapak keluar, si ibu bertanya kemana
tujuan saya sebenernya, dengan penuh keyakinan saya menjawab “Ciparempeng bu”.
Ekspresi si ibu berubah seketika, mirip dengan ekspresi si bapak sebelumnya.
Hal ini membuat saya semakin penasaran, ada apa sebetulnya. Saya belum punya
keberanian untuk menanyakan kepada si bapak ataupun ibu, rasa panik dan takut
belum mereda meskipun sekarang ini saya sedang berada di tempat yang aman.
Suasana menjadi senyap, karena tak ada obrolan apapun pada saat itu, si bapak
sibuk dengan rokoknya sementara saya sibuk menikmati segelas teh hangat yang
saya pesan tadi.
Saya melihat jam, watu sudah menunjukan pukul 20:00 WIB, saya
segera menghabiskan teh hangat tadi dan berkemas bersiap untuk melanjutkan
perjalanan. Ketika saya meminta hp yang sempat saya titipkan untuk di charger,
si bapak bertanya “beneran mau lanjut de?” sebetulnya hati saya merasa tak
yakin untuk melanjutkan perjalanan, tapi saya takut teman-teman sudah menunggu
disana. Ketika HP saya datang, saya sempat mengecek pesan yang masuk disitu
qifin mengirimi saya pesan yang intinya saya tidak usah nyusul, dia berjanji
bahwa nanti shubuh akan turun dan pulang.
Pesan itu masuk sekitar pukul 18:00 WIB, pada waktu itu saya
sedang beristirahat di warung bubur ayam atau mungkin ketika saya sudah
melanjutkan perjalanan pesan itu baru masuk, entahlah. Mungkin saja kalau saya
menerima kabar itu sebelum sampai ke warung ini, saya akan berputar arah dan
tidur dirumah, dikamar yang berantakan, diselimuti kain tenun, mendengarkan
musik sembari membaca buku, atau menonton youtube hingga lupa waktu, arghh saya
merindukan tempat itu.
Nasi sudah menjadi bubur, tak ada lagi yang harus disesali.
Sekarang ini saya harus mengambil keputusan untuk lanjut menuju desa
Ciparempeng atau pulang. Pertanyaan yang diajukan oleh bapak belum sempat saya
jawab, kemudian si bapak menasehati saya. Lumayan panjang nasehat dari si
bapak, cuman yang saya tangkap adalah “lebih baik menginap disini de”. Tambah
lagi satu opsi, Pulang, Lanjut, atau menginap. Jika kawan mlaku berada di posisi saya keputusan apa yang akan kawan
mlaku ambil ?
Pulang ? sejujurnya saat itu saya ingin sekali pulang, akan tetapi
saya tidak siap untuk melewati jalan yang diselimuti dengan lumpur dari tanah
merah sisaan longsor, gelap, banyak kemungkinan yang akan terjadi. Syukur
alhamdulillah, kalau motor saya tunggangi tidak mengalami masalah. Andaikan di
tengah hutan nanti motor saya ngambek, apa yang bisa saya lakukan. Saya
hanyalah pengguna saja, tidak paham masalah mesin, perbaikan motor apalagi.
Kalau servis saja, mengikuti saran dari montirnya asalkan budgetnya sesuai.
Kalau hal itu benar-benar terjadi mungkin saya akan menangis,
ketakukan dan berdoa semoga fajar lekas muncul.
Melanjutkan perjalanan ? sejujurnya saya mampir kewarung si bapak
hanya untuk menitipkan motor dan numpang ngecharger HP, seminimalnya HP saya
bisa menjadi sumber penerangan nantinya. Tapi, saya mempertimbangkan nasehat
dari si bapak tadi. Bukan nasehat sih sebetulnya, melainkan sedikit
cerita-cerita mistis yang pernah terjadi di sepanjang jalan menuju desa
Ciparempeng. Si bapak juga menjelaskan sedikit gambaran trek yang akan saya
hadapi nantinya. Katanya, nanti ade akan dihadapkan denga sebuah pertigaan,
nanti ade mau ambil jalan yang mana ? kondisinya kan ade baru pertama kali, dan
sendirian. Kalau ade berdua, bapak masih bisa kasih ijin lah, kalau sendiri
lebih baik nginep disini, dilanjut besok saja.
Akhirnya, setelah melewati perdebatan hebat di dalam hati, dan
memikirkan baik buruknya opsi yang ada. Saya memutuskan untuk menginap di rumah
si bapak dan si ibu. Ketika saya masuk kerumahnya, si bapak dan si ibu lebih
banyak bercerita. Tentang kondisi jalannya, para relawan yang pernah mampir dan
kisah mistis tentu saja. Sebelum semua cerita itu dimulai, saya di tawari untuk
makan. Namun perut saya masih kenyang, karena selama saya beristirahat sewaktu
perjalanan tadi, saya selalu makan. Kemudian, ditawari lagi kopi, tawaran yang
ini saya iyakan, dibuatkanlah saya kopi susu.
Ketika kopi sudah hadir ditengah-tengah kami, si bapak mulai
bercerita tentang kisah mistis yang pernah terjadi. Si bapak bercerita
menggunakan bahasa campuran (sunda dan indonesia), kadangkala si ibu
menjelaskan dengan bahasa indonesia seutuhnya agar saya bisa lebih paham. Dari
sekian banyaknya cerita mistis yang didendangkan oleh si bapak yang membuat
saya paling merinding dan terus terngiang dalam benak adalah ketika ada
sekolompok relawan dari kalangan mahasiswa, setelah melewati jembatan dengan
sungai besar. Salah seorang temannya seketika menjadi diam, pucat, dan
pandangan matanya kosong.
Kurang lebih seperti ini ceritanya “ dulu de, ada rombongan
mahasiswa yang ke Ciparempeng. Ketika mereka pulang dan melewati jembatan, salah
seorang temannya jadi diam tidak bicara sama sekali. Padahal, sebelum melewati
jembatan itu anak itu paling periang” saya menyela, laki-laki atau perempuan
pak ? “perempuan de. Ketika sudah sampai sini teman-temannya panik dan minta
tolong ke bapak. Dalam hati bapak, ada yang gak beres nih. Ternyata bener de,
ada yang ngikut sama anak itu (si bapak memperagakan gimana caranya beliau
menyembuhkan. Mirip gerakan silat lah). Ini ada anak dari jakarta niatnya baik
mau ngebantu orang yang lagi kesusahan, ngapain si kamu ikut. Udah sono pulang,
kasih minum ini temannya”.
Setelah itu mba-mbanya sadar, alhamdulillah. Si bapak dan si ibu
bergantian ceritanya, di sela-sela mereka cerita. Saya sedikit memperhatikan,
apakah betul saya ditolong oleh manusia atau apa, saya melihat kaki dari si
bapak dan si ibu, alhamdulillah napak kakinya, tidak melayang. Hal itu saya
lakukan beberapa kali, untuk memastikan. Do’a saya dalam hati, kalau memang ini
saya bukan dirumah manusia ya allah, semoga saja saya bisa pulang dan motor
saya aman, amiin.
Karena saya belum kenalan dengan bapak dan ibu, saya meminta
kenalan. Ketika saya berkenalan dengan si bapak, tangan saya di pegang cukup
lama. Dalam hati saya berkata “wah ada apa ini, ada yang gak beres kayaknya”.
Tiba-tiba tangan saya ditarik cepat, awalnya saya bersalaman setinggi perut,
tiba-tiba ditarik ke dekat mukanya Abah Budi. Abah budi meminta maaf. Kemudian
saya berkenalan dengan si ibu, saya lupa namanya, karena si ibu ini akrab
disapa umi.
Kemudian Umi menjelaskan kejadian tadi “ aa si abah teh 'ada yang
ngikutin' nah si aa juga 'ada yang ngikutin' jadi si abah kayak kesetrum". Ooh
begitu, saya kurang paham masalah begituan ya.. yang saya tau kake buyut saya
merupakan orang pintar pada zamannya, dan ilmunya ingin beliau turunkan ke ayah
saya, akan tetapi ayah saya tidak menghiraukannya. Mungkin dari turunan kali
yak, entahlah gak mau saya bergantung sama begituan, karena hanya Allah SWT
tempat satu-satunya kita meminta dan memasrahkan segala macam urusan.
Ketika Abah dan Umi selesai bercerita saya izin untuk tidur, teman
saya kala itu adalah murotal surah Ar-rahman. Saya memejamkan mata pukul 21:00,
dan kebangun pukul 22:00. Waktu masih panjang, dan saya masih menanti
teman-teman yang katanya shubuh mau turun dan pulang. Saya tidak bisa tidur
lagi, saya membaca soft file buku yang saya miliki, membaca Al-qur’an melalui
aplikasi, keluar dari rumah sebanyak dua kali untung buang hajat dengan
perasaan yang tidak tenang. Pukul 00:00 saya sedikit merenung.
Membayangkan dan memikirkan kenekatan saya, mengingat lagi
kejadian yang saya alami di perjalanan. Bertemu ular hijau berkepala segitiga
yang sudah pasti berbisa, berpapasan dengan bapak-bapak yang melihat saya
sinis, melewati jalan yang lebar tiba-tiba mengecil karena bekas longsor. Saya
masih tidak percaya, bahwasanya saya masih bisa selamat, dan membagikan
pengalaman berharga saya ini. Karena saya cuman bisa menulis, sedikit saya
menulis tentang kejadian yang saya alami di HP.
Sudahkah kita bersyukur hari ini?
Teruntuk kawan-kawan seperjuanganku yang sedang ditimpa musibah, kesulitan dalam belajar, susah rejeki, atau mungkin belum dipertemukan dengan jodoh yang sudah di gariskan Tuhan. Kita ini terlalu lemah dan suka berkeluh kesah dengan masalah yang tengah kita hadapi serasa memiliki masalah paling berat di dunia ini.
Pernahkah kalian memikirkan nasib kaum marhaen, proletar atau sejenisnya? Nasib anak-anak di palestina? Atau umat muslim di Perancis? Saudara kita tengah berjuang mempertahankan hidupnya dengan berbagai macam gempuran, kita yang hanya dipusingkan dengan masalah pribadi. Rasanya tak pantas menangis, galau merana meratapi semuanya. Lihatlah sekeliling masih banyak diluaran sana yang memikul masalah jauh lebih besar dari kita, apakah pantas kita masih mengeluh??
Nikmat tuhan mana lagi yang kau dustakan, berkali-kali saya membaca ayat ini sembari memikirkan implementasinya seperti apa. Hari ini ditengah hutan, dirumah abah budi saya sedikit mengerti tafsiran dari ayat tersebut. Ayat itu disebutkan beberapa kali dalam qs. Ar-rahman tandanya kita harus banyak bersyukur atas nikmat yang diberikan Tuhan. Coba pikirkan dan resapi selama satu hari ini berapa kali kawan terhindar dari marabahaya, mendapatkan kenikmatan, dan keberkahan lainnya. Stimulus yang diberikan tuhan begitu nyata, hanya saja kita yang kurang peka dan enggan untuk mendengarkan suara hati dan petunjuk yang sudah diberikan.
Marilah kawan, kita tinggalkan masa jahiliah di masa lampau, bersama-sama kita songsong masa depan yang lebih cerah atas ridho dan seizin-Nya. Semoga hari ini bisa lebih baik dari kemarin dan esok jauh lebih baik dari hari ini
Pada pukul 03:00 saya baru bisa tidur lagi, waktu serasa
lamaaaaaaaaa sssseeeeekkkkaaallliii.
Secercah Pertemuan Penuh Harap
Pukul 05:00 atau 05:30 saya bangun dari tidur yang sangat sukar
didapat, ditempat yang baru, suasana baru,dan butuh perjuangan untuk sampai
kesitu. Saya keluar dari kediaman Abah budi menikmati sunrise yang kurang jelas
karena tertutup oleh pohon-pohon yang cukup lebat. Yang saya pikirkan pada saat
itu adalah teman-teman saya sudah lewat atau belum, kondisinya susah sinyal,
tidak bisa mengabari siapapun. Insting saya betul-betul diuji pada saat itu,
sesekali saya bertanya pada hati kecil, apakah teman-teman saya sudah pulang ?
syukurnya, hati kecil saya berkata belum, akhirnya saya santai dan menikmati
sunrise waktu itu.

Saya memutuskan untuk menunggu mereka sampai pukul 08:00 atau
08:30, lewat dari itu saya akan menunggu mereka di kampus atau di kostan.
Sedari saya terbangun banyak sekali kendaraan yang berlalu lalang, namun abah
menegaskan bahwasanya orang-orang itu bukan dari Ciparempeng, melainkan dari
desa Cileuksa. Belum ada orang Ciparempeng yang lewat, begitu kata Abah. Saya
menanti teman-teman dengan cemas, menanti, dan terus menanti. Janji yang
dikatakan qifin kala itu sedikit terbukti kebohongannya, apakah sekarang janji
hanya sebuah kalimat penenang saja ? tak ada beban untuk menepati janji itu ?
entahlah mungkin kedepannya akan tercipta sebuah kebudayaan baru.
Saya mencoba berjalan menyusuri jalan dan tempat saya terjebak
lumpur tadi malam, saya disuguhkan dengan keindahan alam yang aduhai, sangat
asri udaranya. Tentunya jauh berbeda dengan udara di perkotaan yang sesak dan
kotor oleh asap kendaraan, jiwa kemanusiaan yang mulai tergusur, serta egoisme
yang tinggi. Saya masih belum percaya bahwa masih ada orang baik seperti Abah
Budi dan Umi yang bersedia menolong saya di tengah kesusahan. Meski kondisi
mereka juga sulit, mereka masih memikirkan saya dan tak segan untuk menasehati
anak sembrono ini.
Ketika saya balik ke tempat abah dan sudah sedikit puas
berjalan-jalan. Ada seorang ibu yang sedang menunggu sembari memainkan
gawainya, sinyal memang ada untuk operator indosat dan telkomsel. Sisanya
untung-untungan. Saya sedikit bertaya kepada si ibu terkait kegiatan yang
diadakan oleh BEM UMJ, si ibu menjelaskan bahwa biasanya para mahasiswa
menitipkan kendaraan di Paud. Sumringah saya mendengarnya, informasi yang saya
dapat dari kuple, ternyata dikonfirmasi oleh si ibu.
Mungkin Umi bisa membaca wajah saya yang penasaran dan ingin
kesana. Umi bersedia untuk mengantar saya kesana sekaligus berbelanja
persediaan warung dan mengambil KTP yang sudah UMI tunggu selama 6 bulan
lamanya. Pukul 08:00 kami berangkat menuju desa Cileuksa mencari motor
teman-teman di paud, kalau masih ada saya akan menunggu lagi dan lagi. Kalau
tidak ada, yo wes saya pulang. Ketika sampai di paud, ternyata motor
teman-teman saya masih ada, dan saya memutuskan untuk menunggu lagi, entah
sampai kapan saya harus menunggu, padahal saya paling benci menunggu apalagi
sudah melenceng jauh dari waktu yang dijanjikan.
Ketika pikiran saya sudah tenang bahwasanya kendaraan yang
digunakan teman-teman saya untuk bisa sampai sini, terlihat keberadaannya.
Kemudian saya menemani Umi berbelanja di salah satu toko kelontong (tapi Umi
menyebutnya agen), setelah selesai berbelanja kita mampir ke rumah pak RT
untuk mengambil KTP Umi. Setelah semua urusan rampung, kemudia Umi mengajak
saja berkeliling ke pemukiman yang dekat dengan Tower, harapannya gawai saya
bisa memperoleh sinyal dan mengabari teman-teman. Selain itu, Umi juga ingin
melihat anaknya yang katanya tidur di UNTARA.
![]() |
Rumah Sementara |
Untara ?? terdengar asing bagi kuping saya ini, ketika saya
menanyakan ke Umi apa artinya, ternyata itu merupakan sebuah singkatan dari Rumah Sementara yang dibangun oleh
pemerintah, terhadap masyarakat yang terdampak bencana longsor. Ketika saya
menanyakan, sampai kapan UNTARA ini, si Umi tidak tahu. Khusnudzon saja semoga saat ini pemerintah sedang berpikir keras untuk
mengatasi musibah yang tengah dialami oleh warga di Desa Cileuksa, Kecamatan Sukajaya, Kabupaten Bogor.
Setelah itu saya diajak berkeliling,
sembari mencari sinyal untuk memberikan kabar kepada teman-teman saya yang ada
dirumah dan kepada mereka yang berjanji akan turun ketika waktu shubuh. Cukup
lama saya berkeliling untuk mencari secercah harapan, alhamdulillah setelah
sekian lama akhirnya saya menemukan spot yang dipenuhi dengan sinyal XL, 4G
malahan. Tempat itu berada tepat di samping kamar mandi dan tak jauh dari
tower, di bawah tower malahan tidak mendapat sinyal sama sekali, heran kadang.
Waktu itu saya manfaatkan sebaik
mungkin, untuk memberi dan menanyakan kabar. Ternyata 4 orang teman saya masih
berada di desa Ciparempeng dan berniat turun sehabis makan kisaran pukul 09:30.
Penantian saya tak lama lagi, akhirnya saya dan Umi kembali ke warung,
sesampainya disana saya berpamitan. Karena saya berjanji akan menunggu di paud,
akhirnya saya pergi menuju paud lagi, sendirian.
Karena pada dasarnya saya tidak
terlalu suka berdiam diri satu tempat untuk waktu yang lama, terlebih lagi
sendirian. Jadi, saya memutuskan untuk menyusul mereka ke desa Ciparempeng
langsung, cuaca juga mendukung, jalanan juga terang, kekhawatiran abah dan umi
mungkin sudah hilang. Sebelum saya berangkat saya berpamitan dan menyakan
sedikit gambaran tentang jalan yang akan saya lewati kepada bapak-bapak, yang
kediamannya dititipi helm oleh teman-teman saya. Kata si bapak tinggal
ngikutin jalan ini aja, nanti kalau ketemu pertigaan ambil kiri de, jangan
kanan. Saya menyela “kalau ke kanan ke makam ya pak, tadi pagi Abah Budi sudah cerita, minta
doanya aja ya pak”.
Saya berangkat dengan penuh harapan
bisa bertemu dengan teman-teman saya, dan sedikit menceritakan pengalaman dan
kenekatan saya ini kepada mereka. Disepanjang jalan, saya mencari tanda-tanda
jalan mana yang diceritakan oleh abah dan umi semalam. Pertigaan ketemu, entah
mengapa saya tiba-tiba tidak yakin untuk belok kiri, serasa ingin belok kanan,
yang sudah saya tahu akan menuju makam. Entah makam siapa. Pada kondisi saat
itu, saya bertanya lagi kepada hati kecil saya, jalan mana yang harus saya
lewati, “kiri” kata hati kecil saya lirih.
Di perjalanan saya sempat bertanya
kepada bapak-bapak apakah benar ini jalan menuju desa Ciparempeng ? benar,
katanya. Saya semakin bersemangat melangkah kaki yang lemah ini, tak lama saya
melihat jembatan gantung dan sungai besar dibawahnya, mungkin ini jembatan yang
dimaksud si abah dan kejadian mahasiswi itu. Saya mengucapkan salam, berjalan
santai dan fokus, sedikit saja saya kehilangan fokus akan berdampak fatal.
![]() |
Vita, saya, dan Qifin |
Tanpa saya sadari, bahwa bapak yang
saya tanya tadi, menunggu di ujung jembatan dan menawarkan untuk membonceng.
Saya menolak halus, namun si bapak seakan memaksa, dalam hati saya berkata
“yowes pak mboten nolak”. Perjalanan saya menuju desa selanjutnya dibonceng dan
diantarkan bapak sampai bertemu dengan teman-teman saya yang terlihat kaget
ketika saya sampai. Sensasi membonceng si bapak, rasanya luar biasa, kalau
digambarkan kurang lebih kayak naik ojek di Gunung Sindoro. Waktu itu saya
menghindari menggunakan jasa ojek gunung karena takut, kali ini saya merasakan
sensasinya, berasa punya nyawa 10.. kucing aja kalah itu.
Sekian menit menikmati wahana roller coaster dengan segala kearifan
lokal, akhirnya saya sampai di kediaman salah seorang warga yang dijadikan
tempat beristirahat teman-teman saya. Mereka yang berada di rumah itu kaget
layaknya melihat hantu, dan tidak percaya bahwa saya benar-benar menyusul
mereka. Mereka semua sedang berkemas dan bersiap untuk turun, sebelum turun
saya dimasakkan mie goreng oleh Vita, rasa mienya itu sukar dilupakan, ada
yang terasa bumbunya, ada bagian yang hambar, ada juga yang ngiler ngeliatin.
Selesai segala urusan, kami semua segera berpamitan dan pulang, anak-anak mengantarkan
sampai gardu pandang, terlihat raut kesedihan dan belum siap melepas kepergian
kami.
Suatu saat nanti, semoga kalian bisa
menjadi anak-anak yang hebat dek. Bisa membanggakan orang tua, bisa membangun
negri dan desa tercinta, serta melestarikan keindahan alam indonesia. Tak ada
musibah yang tak ada hikmahnya, mungkin sekarang ini kalian sedang diuji oleh
Tuhan dan semoga kelak kalian mendapatkan posisi yang enak baik di dunia atau
di akherat. Suatu hari nanti kami akan kembali lagi, membawa pesan kebaikan,
menularkan kebahagian, mengajarkan ilmu pengetahuan yang kami miliki. Semoga
saja dalam waktu dekat ini kami bisa kembali bersua dengan mereka seusai UTS,
meski nantinya kami akan bermuara di masyarakat, kami tak boleh lupa kewajiban
kami kepada orang tua.

0 Komentar
Bagaimana petualangannya?