Ibu dan Anak sedang menikmati sunset di Pantai

Memiliki hobi yang extream acapkali menjadi kekhawatiran tersendiri bagi orang tua terutama Ibu. Meskipun kita sudah berpengalaman dan memiliki pengetahuan yang luas tentang hobi yang kita geluti itu belumlah cukup untuk menghilangkan rasa khawatir pada orang tua kita. 

Saya yang gemar sekali bermain di alam bebas terutama mendaki gunung, seringkali dinasehati untuk mengakhiri hobi saya tersebut oleh Ibu.

“Sudah mas, gak usah naik gunung lagi, nyari apaan sih di gunung ?”

Kekhawatiran seorang Ibu memang tak bisa dianggap enteng. Kekhawatiran itu akan bertambah 2 hingga 10 kali lipat, apabila muncul pemberitaan tentang pendaki yang hilang atau tewas. 

Atas dasar itulah, biasanya Ibu akan menceramahi saya lebih keras soal hobi mendaki gunung saya. Padahal, dengan mendaki gunung saya terbiasa untuk mempersiapkan semunya dengan matang. Jadi, tetep ada sisi positif yang bisa saya aplikasikan dalam kehidupan nyata. 

Namun, Ibu yang melarang sejatinya seorang Ibu yang khawatir. Mau sampai berbusa sekalipun, jika hatinya tak rela. Saya tak akan pernah diberi ijin untuk meninggalkan rumah.

Meskipun hobi ini saya sering menjadi momok yang menakutkan bagi Ibu. Namun saya bukanlah anak durhaka yang mementingkan kesenangan pribadi tanpa menghiraukan perasaan orang tua. 

Saya tidak akan pergi mendaki jika tidak mendapatkan ijin dari kedua orang tua saya. Terkadang ijin mudah diberikan oleh Ayah, sehingga kepadanyalah saya meminta ijin pertama kali. Baru kemudian berjuang meminta ijin kepada Ibu.

Jika pemberian ijin dari Ibu cukup alot, maka saya akan berusaha meminta pertolongan Ayah untuk menenangkan hati Ibu dan akhirnya ijin pun diberikan.

Tanpa Restumu! Aku Tak Akan pergi dari Rumah

Proses meminta izin kepada Ibu ini memerlukan usaha yang cukup keras, penjelasan mengenai tujuan, teman mendaki, peralatan, dan hal lainnya, haruslah dijelaskan secara detail agar izin diberikan. 

Tak heran, kerap kali terjadi perdebatan singkat antara saya dan Ibu. Perkataan angker yang tidak mau saya dengar dari Ibu adalah “Kalau Ibu bilang gak usah, ya gak usah. Jangan bandel kalau dibilangin!!!”

Niatan untuk menikmati keindahan tuhan haruslah ditunda.

Foto saya ketika berada di puncak Gunung Slamet
Puncak gunung slamet awal mula kecintaan pada dunia pendakian

Setiap peringatan hari Ibu saya termasuk orang yang cuek, jarang sekali saya mengucapkan selamat hari Ibu secara langsung kepada Ibu saya. Perilaku cuek ini mungkin saja saya dapatkan dari Ayah, dia tak pernah suka acara ceremonial yang berlebihan.

Katanya "Yang terpenting bukan ucapan, dekorasi, atau hebohnya. Namun apa yang kamu sampaikan itu selaras dengan hati dan diwujudkan dalam bentuk tindakan".

Setiap kali saya mendaki, saya merenungi hidup saya, terkhusus kesalahan yang pernah saya lakukan. Entah itu kepada orang lain atapun keluarga. Melihat pemandangan yang jarang sekali saya temukan diperkotaan membuat saya sadar bahwa keluarga itu segalanya. 

Rasa saling memiliki dan gotong royong yang tinggi di Gunung adalah tamparan untuk saya tentang apa yang saya pernah lakukan kepada Ibu dulu. Bagaimana saya menolak untuk membantunya membersihkan rumah, menjemur pakaian, dan membelikannya bahan-bahan memasak. 

Durhaka.. Sungguh durhaka.

Alasan Pergi Bertualang adalah untuk Kembali Pulang!

Foto saya ketika berada di Bandung

Setiap kejadian selama saya bertualang selalu mengingatkan saya pada Ibu. Sebab, belum banyak kebaikan yang bisa saya berikan, belum ada kebahagiaan yang berhasil saya ciptakan.

Setiap kejadian yang saya alami, selalu ada hikmah yang bisa saya ambil. Ketika saya hendak pergi ke Ciparempeng, dan motor saya ada kendala. Disitu saya mengulas balik perjalanan saya yang telah lalu, adakah kesalahan saya di masa lampau yang tak termaafkan?

Apakah itu yang menyebabkan hambatan pada saya kala itu? Ataukah kesalahan saya pada teman yang tak terlupakan? Apakah dosa saya di masa lampau menjadi alasan tersendatnya perjalanan serta proses saya?

Jika iya, mohon maafkan saya..

Pernah beberapa kali saya memberikan hadiah kecil kepada Ibu saya, namun wajah cantiknya tidak menunjukan ekspresi apa-apa, datar saja.

Apakah hadiah saya kurang besar? Ataukah saya harus lebih rutin memberikan hadiah? Etahlah. Saya pikir setiap perempuan gemar diberikan hadiah, mungkin Ibu saya sosok perempuan yang berbeda yang kurang suka dengan hadiah.

Beberapa bulan ketika saya menekuni hobi mendaki gunung, saya sadar bahwa hadiah terbesar nan indah yang bisa saya berikan kepada Ibu saya adalah kepulangan anaknya dengan keadaan selamat. Dan senantiasa berbakti kepadanya, saya rasa itu adalah hadiah yang seluruh Ibu inginkan dari anaknya.

Setiap kepulangan saya, wajah cantik Ibu menunjukan ekspresi penuh syukur dan bahagia. Terkadang, kalau tidak sibuk dengan urusan dapur. Ibu menemani saya dan teman pendakian mengobrol di teras.

Kepulangan Anaknya adalah Hadiah Terbesar Bagi Ibu

Ilustrasi ekspresi bahagia Ibu akibat anaknya pulang
Ekspresi kebahagiaan Ibu yang sukar dijelaskan

Kemudian, Ibu akan menyuruh adik saya membuatkan minuman hangat atau menyuruhnya untuk membelikan makanan dan lainnya. Sehingga kami tidak kedinginan ataupun kelaparan. Obrolan hangat pun tercipta akibat suasana syahdu dan makanan yang komplit.

Ibu saya bertanya mengenai pendakian saya kala itu, meski kadang saya menceritakan secara singkat karena lelah. Meskipun begitu, Ibu tetap mendengarkan dengan seksama. Dan menanyakan beberapa bagian dari cerita saya yang tidak Ibu mengerti.

Begitulah Ibu saya, meski saya sudah bukan anak kecil lagi yang harus disuapi. Tapi bagi seorang Ibu, saya masih seperti balita yang perlu perhatian penuh dan kasih sayang. 

Tak heran, ketika saya meminta izin untuk mendaki. Pasti Ibu mencari berbagai macam cara untuk menggagalkan niat saya pergi. Semua itu Ibu lakukan semata-mata untuk melindungi anak tertuanya ini.

Selagi masih ada kesempatan, dan kekuatan. Ingin sekali rasanya mengajaknya bernostalgia mengunjungi tempat-tempat indah yang Ibu dan Ayah kunjungi sewaktu muda dulu..

Semoga saya sanggup, sekian.

See you!