Puncak gunung sindoro 3153mdpl

Baca part pertama Ketemu Bule di Gunung

Keesokan harinya setelah puas beristirahat walau tak senyenyak dan senyaman ketika dipelukan dia, kami mengurusi urusan masing-masing. Ada yang berjalan-jalan mengelilingi basecamp kledung sembari menikmati ciptaan tuhan yang sangat indah, ada pula yang menunaikan hajatnya ke kamar mandi, dan seperti biasa ada yang diam saja menunggu teman-temannya rampung melakukan aktivitas.

Dia menunggu dibalik dekapan hangat masa lalu yang sangat indah dan sukar dilupakan, namun semua itu harus sirna ketika kami sampai dan terbangun. Pada awalnya kami berencana untuk mendaki bersama dan pendakian kami mulai pukul 08.00 WIB. Waktu Indonesia Berubah kembali terjadi, pada akhirnya kami hanya berangkat bersama rombongan kami. Saya, erin, dian, bu guru, rico dan bayu. Sementara hara dan temannya, berangkat terlebih dahulu karena ada suatu hal yang dikejar.

Kami yang sebetulnya malas sekali untuk beranjak dari tempat yang sudah membuat kami nyaman dan beristirahat dengan cukup, membuat target pendakian kami sedikit molor. Setelah bergelut dengan rasa nyaman dan kenikmatan, kami bergegas mengatur ulang tas carrier dengan barang bawaan kelompok kami.

Pada saat ini orang yang merasa menjadi korban dan terintimidasi adalah saya dan rico. Bagaimana tidak? tas ransel kami berdualah yang paling berat diantara tas-tas lainnya di rombongan kami. Tas saya berisi air mineral berjumlah 9 botol dan pakaian pribadi, tas rico berisi tenda, peralatan kelompok. Sementara logistik tersebar luas dan kurang merata pada keempat orang teman saya itu.

Seberes packing, dan mengurus simaksi. Kami bergegas menyiapkan diri untuk melakukan pendakian dengan jalur yang tidak kami ketahui sebelumnya, medan yang terbilang cukup baru, serta perasaan yang campur aduk ketika melihat pendaki cantik entah dari mana asalnya.

“mung iso nyawang ra iso nyanding kawan

Keuntungan hidup dimasa sekarang adalah kita bisa dengan mudah mengambil gambar dan membagikannya kepada teman agar ikut serta merasakan kebahagiaan yang kami rasakan, meskipun terkadang ada beberapa teman yang dengan sengaja memamerkan perjalanannya kepada teman lainnya dengan berbagai macam tujuan.

Mungkin, bertujuan untuk memotivasi teman lainnya agar bisa merasakan hal yang sama dengan dia, membuat iri karena keindahan pemandangan yang disuguhkan oleh tuhan ( acapkali mbak-mbak strong tak luput dari pemandangan indah itu), atau yang paling sering dijumpai adalah untuk riya alias pamer alat-alat gunung yang memiliki kualitas nomer satu.

Namanya juga mendaki dengan para perempuan hebat yang narsisnya gak ketulungan, sebelum berdoa dan berangkat mendaki masih sempatnya mereka melihat sebuah spot yang cocok untuk dijadikan background foto, kalau tidak salah lukisan indah peta pendakian. Seberesnya mereka berfoto ria dengan berbagai macam pose, dari yang normal sampai abnormal.

Kami melakukan kebiasaan rutin yang lazim ditemui, berdoa dan sedikit briefing. Hal yang kami diskusikan adalah kami mau menggunakan jasa ojek atau berjalan kaki saja. Waktu bisa lebih efisien tapi kantong terkuras atau kantong aman tapi waktu dan tenaga yang terkuras. Tanpa kami sadari ada hal lain yang lupa dipertimbangkan, keselamatan dan sensasi.

Karena kami melihat para ojek gunung ini mengendarai motor dengan gagah berani layaknya panglima perang yang siap kapan saja menyerahkan nyawanya. Pada akhirnya kami memutuskan untuk berjalan kaki saja, maklum lah kantong anak smk masih tipis dan memprihatinkan. Disepanjang perjalanan saya hanya bisa terdiam menahan beban yang kian lama kian terasa menyedihkan sama seperti melihat ia jalan bersama pacar barunya yang gak lebih baik dari saya.

Coba bayangkan bagaimana rasanya memikul ransel dengan beban yang lumayan banyak ditengah mentari yang dengan gagahnya menyinari bumi. Bayangin aja kawan, gak usah diikutin, kamu gak akan kuat biar dilan saja. Meskipun beban sesungguhnya adalah ketika kita kian bertambah usia namun belum bisa memberi apapun untuk orang tua dan keluarga atau hanya menjadi beban keluarga.

Perjalanan dari basecamp menuju pos-pos yang ada di pendakian gunung Sindoro via Kledung ini kami tempuh degan berjalan kaki. Lelah, kesal, iseng, dan menyedihkan. Kurang lebih itulah gambaran umum perjalanan kami waktu itu, setelah melewati pintu gerbang kemenangan yang ada di jalur pendakian ini. Kami istirahat melipir dari jalur pendakian, mencari tempat nyaman untuk genduh rasa, berharap rasa lelah ini segera pergi.

muka lelah sampai dipuncak

Meskipun sebelumnya, kami sudah sering break  karena teriknya matahari. Melipirnya kami in bukan tanpa alasan, karena saya dan beberapa teman lain di kelompok masih merasakan kantuk dan sedikit rawan jikalau dipaksakan. Makanya kami memutuskan untuk tidur sejenak, dengan sandaran ransel yang setia serta sayupan angin di tengah hutan.

Tak terasa satu jam berlalu, kami pun bergegas melanjutkan perjalanan. Ketika kami berjalan, rasanya sedikit menyesal, karena tak lama dari tempat kami tidur, sampailah kami di pertengah pos 1 dan 2 tempat pemberhentian terakhir dari ojek gunung sindoro. Di tempat ini kami beristirahat lagi, sesuatu hal yang langka bisa menjumpai pedagang siomay/cimo/bakso [ lupa :) ] di gunung, hal yang baru bagi saya.

Alhamdulillah, ada malaikat yang mendengar isi hati saya yang ingin mencicipi makanan itu diatas gunung dibeli langsung di tempat ini. Bu guru dan Dian membelikan kami makanan enak itu, lumayan bisa sedikit mengirit logistik yang kami bawa, biar bisa puas makan nanti ketika berada di tempat camp. Seberes kami menikmati jajanan sekolah di gunung itu, beberapa kali kami melihat para pendaki yang belari atau trail running.

Hal ini membuat semangat saya kian menggebu, sedikit agak sombong mungkin. Ketika saya mendaki gunung slamet yang sudah beberapa kali, jarang sekali saya temui pendaki seperti ini. Sindoro tempat pertama saya melihat pendaki trail running.

“ Mungkin benar jalurnya tidak se sulit di gunung slamet ”

Seketika hati kecil saya berkata seperti itu dan seolah memberi semangat lebih agar segera bisa mencapai ke puncak gunung sindoro. Perjalananpun kami lanjutkan, kami berjalan dengan santai dan menikmati pemandangan alam yang disuguhkan. Terkadang kami bertegur sapa dan saling ejek kepada pendaki kelompok lain.

Namun hal yang tidak diduga terjadi, ketika jalur sudah mulai menanjak dan semua itu jauh diluar ekspektasi saya yang mengkomparasikan dengan jalur di gunung slamet yang menanjak tapi sopan. Jalur pendakian gunung sindoro ini bisa dikatan kurang sopan. Bagaimana tidak, tanjakan terjal khas bebatuan, yang memaksa lutut kami bertemu dengan dada tubuh yang rapuh ini.

Tenaga terkuras dengan cepat, keringat bercucuran bak banjir bandang ditambah lagi melihat dia nayaman dipelukan orang lain yang membuat hati ini semakin terisis mengenangnya. Kami berjalan semampu kami, sesantai mungkin hingga tak sadar bahwasanya mentari mulai pamit dari pandangan kami yang menghasilkan bias cahaya indah. Bernama Senja. Sejanak kami terpaku memandangi keindahan alam itu.

Tersadar, sudah terlalu lama kami berdiam diri hingga lupa bahwasanya perjuangan belumlah usai. Singkatnya kami melanjutkan perjalanan dan memutuskan untuk camping di pos 3 gunung sindoro. Rutinitas yang dilakukan ketika sampai tempat camp, ialah memasak, rebahan, slonjoran atau bercengkrama dengan pendaki lainnya sembari menyusun rencana summit attack.

Malam mulai pekat, raga sudah lelah tak mampu lagi untuk terjaga, akhirnya kami semua tertidur dengan lelapnya. Kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan pukul 3 dini hari. Kerap kali saya terbangun dari tidur dikarenakan beberapa pendaki yang melintas, memang agak sensitif. Padahal pendaki itu tidak melakukan hal yang mengganggu ketenangan malam itu.

Sudah menjadi kebiaasaan bagi kami untuk ngaret dalam dari target yang sudah ditentukan, pada akhirnya kami melanjutkan perjalanan pukul 5 pagi. Dengan segenap tenaga yang sudah terkumpul, kami bergegas untuk melihat keindahan alam indonesia dari ketinggian 3153 mdpl. Perjalanan ditemani rasa dingin yang menusuk, serta cahaya yang mulai menghiasi dari kejauhan.

Tatkala mentari mulai nampak, kami menghemat cahaya dari headlamp yang kami bawa dan bergegas mencari tempat terbaik untuk menikmati sunrise. Cara kami menikmati momen ini-pun beragam, ada yang mengabadikannya melalui foto, puisi, dan kenangan. Karena suatu kejadian dalam hidup kita mampu memberikan ide unik yang sayang jika tak direalisasikan.

Ketika hawa dingin masih menemani perjalanan kami, perut saya mulai susah untuk dikondisikan. Beberapa kali saya beristirahat hanya untuk berdiskusi dengan perut agar lebih mudah untuk diajak kerjasama sembari mengistirahatkan bahu yang sedari berangkat memikul beban ransel yang lumayan. Hingga disuatu titik di gunung sindoro, saya hampir menyerah dan menyuruh teman-teman untuk melanjutkan perjalanan dan saya menunggu di titik nyman itu.

Akan tetapi, teman-teman yang lain tak sependapat dengan saya dan setia menemani saya di titik itu. Hingga pada akhirnya bayu merasa bosan menunggu, ia menawarkan untuk bergantian memikul beban ransel yang berisikan kehidupan.

“ Nah ini yang saya tunggu, pada nggak peka emang kadang. Perut sakit, pundak terbebani, serta hati yang lara. Lengkap sudah. “

Perlahan namun pasti, kami berjalan dan terus berjalan. Melewati medan yang cukup terjal dengan berbagai tanjakan yang menipu. Tanjakan yang memotivasi kami bahwa setelahnya adalah puncak, namun itu hanya tipuan yang menambah sensasi pendakian. Kami berusaha menjemput kepastian puncak yang menunggu dari pada mengalah kepada sesuatu hal yang menipu.

Bule 1

Bule 2

Dengan berbagai upaya yang kami kerahkan, pada akhirnya kami sampai di puncak gunung sindoro dan menikmati keindahan ciptaan alam Indonesia dari ketinggian 3153 mdpl. Ketika kami sedang beristirahat, saya sempat melihat dua bule cantik dari kejauhan. Sesuatu hal yang baru bagi saya bisa bertemu Warga Negara Asing di gunung sindoro ini.

Hari itu sungguh terik, bau belerang yang menyengat, serta semangat hampir sirna. Namun, percayalah kawan dibalik sebuah kesusahan terselip sebuah kebahagian, bukankah kebahagiaan jauh lebih nikmat jika diperoleh dengan perjuangan ?

Kami berenam bahagia karena berhasil mencapai puncak dan menikmati indahnya alam yang disuguhkan ditambah bonus memandangi bule cantik meski tak bercakap. Setelah kami puas mengambil gambar dan mengobrol tentang perjuangan bisa sampai ke titik 3153mdpl ini, kami memutuskan untuk turun. Kawan tahu apa yang terjadi ketika turun gunung tak sepelik ketika mendaki gunung.

pemandangan puncak sindoro