globe dunia

Gak boong! Kue bingke adalah makan terlembut yang pernah saya nikmati!

Salah satu keuntungan menjadi seorang traveller adalah menikmati makanan khas lansung di daerah asalnya! 

Kamu pasti sering makan makanan khas daerah kan.. Walaupun terkadang tidak sepenuhnya sadar. Atau bahkan tidak tau sama sekali, kalau yang dimakan itu adalah makanan khas daerah.

Jika iya, kondisi ini tentu memprihatinkan. Daripada nantinya kita marah-marah, akibat warisan budaya kita diklaim negara lain. Lebih baik kita belajar dan lestarikan warisan budaya kita yuk!

Makanan khas derah itu seperti: Gudeg, Wingko Babat, Rendang, Dodol, dan lain-lain. Makanan-makanan tersebut melalui cita rasanya sudah berhasil menaklukan lidah warga Nusantara. 

Dari yang kecil hinga besar, muda hingga tua. Mereka sangat menggemari makanan-makanan khas tersebut. 

Filosofi dibalik Makanan Khas Suatu Daerah

ilustrasi proses pembuatan makanan khas daerah

Cita rasa yang khas, serta keunikannya menjadikan makanan khas ini sebagai salah satu cara paling sederhana untuk mengetahui karakteristik daerah asalnya. Sebut saja landasan filosofis dari makanan khas tersebut.

Misalnya saja sajian Rendang khas Minangkabau Sumbar. Filosofi rendang bagi masyarakat Minangkabau adalah musyawarah dan mufakat. 

Mengkutip dari buku Randang Bundo (2019) karya Wynda Dwi Amalia, berangkat dari 4 bahan pokok yang melambangkan keutuhan masyarakat Minang.

Secara simbolis, dagiang (daging) merupakan niniak mamak (para pemimpin suku adat), karambia (kelapa) melambangkan cadiak pandai (kaum Intelektual), lado (cabai) sebagai simbol alim-ulama, dan pemasak (bumbu) menggambarkan keseluruhan masyarakat Minangkabau.

Atau

Dodol khas Garut. Proses pembuatannya tersirat makna filosofis yang menggambarkan kebersamaan dan keberagaman. 

Makanan khas dodol ini dibuat dalam proses yang lama dan dikerjakan bersama-sama, sehingga semangat gotong royong sangat diperlukan.

Pembuatan dodol biasanya melibatkan beberapa keluarga. Ada pula pembagian tugas di dalamnya.

Di mana para lelaki bertugas mengaduk adonan dodol, yang prosesnya dapat memakan waktu 8 - 10 jam. Proses pengadukan hingga warnanya berubah menjadi cokelat keemasan. 

Sedangkan para perempuan, bertugas menyiapkan bahan-bahan.

Ketika saya berdiskusi dengan rekan satu pelatihan kala itu di Kota Pontianak. Ada hal yang menarik dari materi “Sumbangsih Budaya dalam Membangun Peradaban”.

Rekan saya berkata “Mungkin bukan hanya keindahan dari Candi Borobudur saja yang memikat hati. Tetapi, ada cerita dibaliknya yang sama memikatnya”

Sama halnya dengan makanan khas daerah, bukan hanya keunikan cita rasanya saja yang bisa dinikmati. 

Tetapi ada cerita dibaliknya yang bisa dinikmati dan diambil hikmahnya. Jadi ada 2 nilai. Pertama tentang cita rasa dan kedua tentang cerita.

Kue Bingke Berendam

Kue Bingke Terbungkus Kemasan


Terdapat sebuah makanan yang terlindungi kotak kemasan yang cukup menarik. Salah seorang sahabat berkata “kue bingke tuh pak, makanan khas sini katanya. Tadi dikasih.

“Hmm… menarik, sebuah makanan khas tersedia di meja panjang. Tapi, bukan itu yang saya butuhkan. Bukan!” gumam saya dalam hati.

Sudah menjadi kebiasaan saya memang, sehabis bangun tidur harus meneguk kesegaran air putih. Maka dari itu saya membeli air mineral kemasan yang ada di Indomaret (rivalnya Alfamart) dengan sebungkus cerutu low budget

Sepulangnya saya dari minimarket. Kami mengobrol.

Obrolan dibuka dengan topik bagaimana caranya untuk meningkatkan budaya literasi pada generasi muda. Banyak sekali tips yang muncul pada obrolan saat itu. 

Hingga disela-sela obrolan, saya meminta izin untuk menikmati kue bingke yang hampir menangis sebab tak dihiraukan.

Menikmati Kelembutan Kue Bingke

Gigitan pertama saya tergambarkan dengan situasi layaknya saya sedang berada dalam sebuah istana mainan yang sangat megah. 

Kelembutan, rasa manis, dan aftertaste tidak terlalu pahit. Membuat kesan pertama saya dengan makanan khas Pontianak ini sangatlah positif, positif mencintai dan menyayanginya dengan segenap jiwa raga. 

ILY 3.000 Kue Bingke!

Gigitan kedua dan ketiga mulai rada kurang mengenakan. Bagi saya, kue Bingke ini memiliki rasa manis yang keterlaluan.

Saya yang memiliki resiko 6x lebih besar terkena diabetes, diharuskan berpikir panjang untuk menghabiskan satu porsi kue Bingke itu.

Ditambah lagi rasa pahit pasca gigitannya mulai terasa. Mungkin itu salah satu cara yang dilakukan oleh tubuh saya untuk berkata “Cukup konsumsi gula hari ini Alif! Atau kamu lebih memilih terkena diabetes?”

Satu hal yang membuat saya cukup penasaran dan bertanya-tanya. K-E-L-E-M-B-U-T-A-N dari kue bingke ini sungguh harus diberikan nilai 10 dari 10 alias sempurna. 

Ingin sekali rasanya mengunjungi tempat pembuatan kue bingke ini, sebetulnya proses apa yang dilewati sehingga hasilnya bisa sangat lembut, selembut kasih ibu.

Namun sayang, saya belum memiliki kesempatan untuk berkunjung ke tempat produksi dari kue bingke ini. Mungkin lain kali. Suatu hari nanti, pasti! Ada yang unik dari kisah filosofis dari makanan ini.

Menurut syafarudin Umar seorang budayawan yang mengatakan bahwa “Kue bingke mengajarkan kepada masyarakat susah maupun senang harus dijalankan dengan penuh keceriaan”. 

Kue bingke dicetak berbentuk bunga, masyarakat lokal menyebutnya kembang goyang. Diartikan bahwa kehidupan manusia tidak selalu berjalan mulus, Ada kalanya naik dan turun.

Kue Bingke Siap Disantap

Pelajaran yang saya dapatkan

Dalam arus globalisasi dan potensi distrupsi yang sangat besar, sangat perlu bagi generasi muda bumi pertiwi untuk terus belajar dan melestarikan kebudayaan-kebudayaan yang ada di masing-masing daerahnya.

Penjagaan akan makanan khas daerah juga harus dilakukan, nilai yang terkandung dalam sebuah sajian masakan daerah bukan hanya cita rasanya saja. 

Tapi, ada nilai filosofi yang harus dihargai dan dihormati. Jika generasi mudanya saja tidak mau belajar untuk mencintai dan melestarikan warisan luhur, maka jangan salahkan jika sepuluh atau beberapa puluh tahun kedepan.

Santapan lezat yang selama ini kita kenal dengan Rendang, Gudeg, Dodol, Kue Bingke Berendam, dan lain sebagainya hanya tinggal ingatan nama saja. 

Sungguh miris bukan? 

mari kita belajar untuk berbangga dan mencintai keragaman budaya dan peninggalan luhur yang ada di bumi pertiwi.

Kemudian, kita berlomba-lomba untuk mengenalkan kebudayaan dari masing-masing daerah yang ada di Indonesia ke kancah dunia. 

Sehingga, nilai jual bangsa ini akan meningkat, dihormati, dihargai, dan didengar di kancah dunia. Kita bisa berbuat, kita harus berbangga, mari lestarikan budaya bersama-sama.

See you!