bosan mendaki gunung

Hi! Senangnya bisa menulis untuk blog ini lagi…

Senang sekali bisa kembali membuat cerita yang mungkin saja bisa menjadi inspirasi kamu. Pertama, saya mau cerita kalau saya mulai mendaki dari tahun 2016 akhir (Kalau tidak salah).

Namun cerita pendakian tersebut tidak akan selengkap yang pernah saya tulis sebelumnya. Kamu bisa membacanya melalui link berikut.

Puncak Pertamaku!

Kecintaan saya mendaki akan menjadi premis cerita ini. Langsung saja kita mulai ceritanya.

Jatuh Cinta Pada Dunia Pendakian

serunya mendapatkan kawan baru di pendakian

Seorang ayah akan selalu menjadi inspirasi pada anak-anaknya. Sama seperti kisah cinta ini. Saya masih ingat beberapa cerita ayah kepada temannya ketika sedang minum kopi. Tentunya sembari ditemani rokok Samsu kretek. 

Rokok memang mampu memberikan unsur kenikmatan lebih dalam di setiap perbincangan yang terjadi. Kala itu, ayah sedang bercerita tentang pengalamannya mengevakuasi pendaki yang terjatuh dari tebing di Gunung Slamet. 

Kalau kamu pernah mendaki ke gunung Slamet, tentu tidak asing dengan trek yang akan dilalui untuk sampai ke puncak bukan? Dari Bambangan, sisi sebelah kanannya jurang yang cukup dalam.

Kalau kamu beruntung, mungkin kamu bisa melihat babi yang sedang berjibaku mendaki. Nah, tempat lokasi itulah yang menjadi tempat evakuasi korban yang ayah saya lakukan. 

Korban yang dievakuasi ayah saya tergelincir dari puncak, dan berakhir pada jurang tersebut. 

Singkat cerita, ayah saya dan tim berhasil mengevakuasi si korban. Dan mereka beristirahat di pos 2 pendakian gunung Slamet via Bambangan. 

Dalam ceritanya, pada saat istirahat ini kejanggalan terjadi. Tiba-tiba entah dari mana datangnya, terdengar suara tangisan perempuan. 

Ayah saya dan tim semua kebingungan. Mereka berusaha mencari sumber suara itu, seluruh tim sepakat, bahwa sumber suara itu berasal dari jurang sisi di pos 2 itu.

Akhirnya mereka mencoba berkomunikasi dengan pihak basecamp, dan menceritakan apa yang terjadi. 

Jawabannya adalah “Coba kamu periksa lagi mayat si korban, apakah sudah tertutup semua?”

Serentak, ayah saya dan tim berusaha untuk memeriksa kembali mahasiswa naas itu. Dan benar saja, ternyata pada bagian kakinya tidak tertutup secara sempurna. 

Ketika kaki sang korban sudah tertutup sempurna, barulah jeritan perempuan di Pos 2 itu menghilang. Dan seluruh tim bisa melanjutkan perjalanan menuju basecamp bambangan.

Asal-usul Jeritan di Pos 2 Bambangan

ilustrasi pos 2 gunung slamet

Sesampainya di basecamp, ayah saya cukup penasaran dengan apa yang dia alami barusan. Akhirnya, dia memberanikan diri untuk bertanya pada juru kunci gunung slamet.

FYI, Kata ayah saya, dulu ketika ingin mendaki gunung Slamet hanya perlu menghadap pada juru kunci dan memberikan rokok saja. 

Sekarang, proses registrasi menjadi lebih ketat. Ada dokumen yang harus kita lengkapi, yang terpenting adalah surat keterangan sehat. 

Semuanya tentu penyesuaian dengan kondisi zaman. Jaman ayah saya, kebanyakan pendakinya tau adab dan datang dengan persiapan yang matang.

Kalau sekarang… Agaknya, banyak pendaki nekat yang hanya bermodalkan semangat mendapatkan foto bagus. Namun persiapan mendakinya sangat minim.

Kembali ke cerita ayah saya dan juru kunci. Sang juru kunci gunung slamet akhirnya menceritakan asal-usul jeritan di pos 2 Bambangan.

Beliau menuturkan bahwa, pernah ada rombongan pendaki yang terdiri dari 3 orang. 2 laki-laki, dan 1 perempuan.

Ketika pendakian, mereka memutuskan untuk camping di pos 2. Sewaktu camping, pendaki yang laki-laki itu tidak bisa menahan nafsunya, dan terjadilah adegan tidak senonoh.

Ketika sudah puas, perempuan tersebut dibunuh. Dan mayatnya dibuang ke jurang di pos 2. 

Itulah alasan kenapa jeritan perempuan itu kembali terdengar saat mayat korban yang dievakuasi oleh ayah saya dan tim tidak tertutup rapat. 

Cerita yang Menggugah Semangat

ayah dan anak sedang mengobrol

Selain cerita jeritan perempuan di pos 2 gunung Slamet via Bambangan. Ayah saya juga pernah menceritakan cerita pendakiannya yang lain. Dan sialnya, ia selalu menceritakan sisi horornya.

Entah ada alasan khusus atau memang semua pengalamannya tidak bisa terlepas dengan kondisi mistis. Hanya dia yang tahu. 

Namun yang jelas, semua ceritanya itu semakin menginfluence saya untuk memulai kisah pendakian saya sendiri. 

Semasa saya SMP dan SMA, sosial media belum segila sekarang. Kala itu, kebanyakan anak mudanya masih nyaman menggunakan Blackberry. 

Belum banyak yang pakai Android, kalau iPhone sangat jarang. Bisa dihitung jari, bahkan 10 jari yang saya miliki pun tidak tertutup semua untuk menghitung teman saya yang user iPhone.

Dengan kondisi yang seperti itu, saya sangat yakin bahwa cerita-cerita pendakian ayah saya lah yang menggugah semangat saya untuk memulai pendakian pertama. 

Namun pada pendakian pertama saya, saya gagal mencapai puncak. Faktornya jelas, persiapan yang sangat tidak matang.

Persiapan fisik tidak ada, pengetahuan minim, peralatan pun seadanya hasil meminjam. Apa yang bisa saya harapkan dari kondisi tersebut. 

Ditambah lagi, partner pendakian saya adalah kakak sepupu yang rasanya hanya mengikuti ego saya untuk mendaki. Jadi, yang penting punya pengalaman naik aja dulu. Mungkin begitu ia mikirnya. 

Belajar dari pengalaman itu, saya berusaha untuk mempersiapkan semuanya dengan sengat matang. Segala persiapan yang sering saya lakukan, kamu juga bisa menirunya. 

Silahkan baca: Persiapan Sebelum Mendaki Gunung

Gagal? Coba Lagi!

Semangat pantang menyerah adalah sikap yang harus dipelihara untuk keperluan apapun dan dimanapun. 

Setelah gagal pada percobaan pertama mendaki gunung, saya mencobanya lagi 7 bulan kemudian. Pendakian kali ini, masih tentang gunung Slamet.

Pada percobaan kedua ini, saya ditemani oleh mas Tono (Yang membantu ayah berjualan). Bisa dibilang, mas Tono cukup senior dan punya pengalaman yang cukup. 

Berdasarkan perintahnya, saya berusaha menyediakan apa saja yang saya butuhkan selama pendakian. Tas carrier pun akhirnya saya sewa dengan lebih proper. 

Nyaman dan cukup selama pendakian. Singkat cerita, percobaan kedua saya ini berhasil. Walaupun sedikit ada drama, yaitu egois.

Keinginan saya untuk mencapai puncak, membuat saya meninggalkan mas tono yang masih terlelap. Walaupun, sebelum melanjutkan pendakian ‘sendiri’ saya sudah minta izin. 

Namun tetap saja itu tindakan yang salah. Meninggalkan teman pendakian karena keegoisan diri sendiri sangat tidak dibenarkan. 

Walaupun saya sudah mencuri start dengan berangkat duluan, namun tetap saja mas Tono bisa mengejar saya. 

Tepat ketika saya akan turun dari puncak, ia berhasil sampai. Dan akhirnya saya sedikit dinasehati di puncak gunung. Sungguh nasehat yang mahal!

Fase-fase Pendaki Gunung

fase-fase pendaki gunung

Percayalah, setiap orang yang mendaki pasti pernah mengalami fase-fase berikut ini. Saya pun pernah.

Disclaimer, fase yang bakalan saya jelasin ini murni pendapatku aja ya.. Jadi kalau kamu mau nambahin atau gak setuju, boleh banget buat kasih komen di akhir artikel ini ya!

Fase Maju-Mundur

Istilah maju-mundur cantik yang dulu sempat populer oleh Syahrini, ternyata cocok juga untuk menggambarkan fase pendaki gunung pada saat pertama kali mencoba. 

Umumnya, mereka yang baru pertama kali mendaki, masih ragu untuk kembali mendaki lagi. Otaknya berhitung tentang kesenangan dan kesulitan yang akan dilalui.

Senang saat mendapatkan view bagus dan menyatu dengan alam.

Sulit ketika harus kurang tidur, capek, dingin, atau bahkan kelaparan.

Kalau otaknya lebih cenderung memikirkan tentang kesulitan saja, imbasnya adalah menjadi seorang petualang yang kapok mendaki gunung. 

Maka untuk merubahnya, perlu partner yang mampu merubah mindset petualang ini. Jangan melihat hanya yang sulitnya saja, tapi nikmati juga keindahannya!

Karena dalam buku Carol S. Dweck yang berjudul Mindset mengatakan bahwa kalau mau sukses kita harus punya mindset tumbuh. Sukses dalam bidang apapun yang kita cintai!

Namun ketika otaknya lebih dominan memproses kesenangan. Maka seorang petualang ini akan menjelma menjadi pendaki gunung. Dan lanjut pada fase berikutnya!

Fase Jatuh Cinta

Coba ingat-ingat sejenak, dulu waktu kamu jatuh cinta dengan pasanganmu apa yang akan kamu lakukan?

Kebanyakan pasti akan menjawab, sering-sering menemuinya. Itulah yang terjadi degan pendaki gunung yang telah melewati fase maju-mundur. 

Kini ia menjelma menjadi seorang petualang yang tiap minggunya ingin berjumpa dengan kekasih hati. Tak peduli berapa banyak uang yang dikeluarkan. 

Seberapa lelah perjalanan yang harus ditempuh. Karena semua itu adalah perjuangan untuk mencintai sang kekasih. 

Sekilas tampak menyenangkan bukan? Namun yang sering kali tidak dipertimbangkan adalah bahaya yang mengancan. 

Niat hati ingin terus mendaki, namun persiapan selalu saja terbatas. Alhasil pertemuanmu dengan sang kekasih, bisa jadi yang terakhir. 

Saya pernah pengalaman yang cukup pahit, ketika mendaki ke Gunung Gede. Untungnya saja saya dan tim masih selamat. 

Sehingga saya masih bisa menulis cerita ini. Kamu bisa baca cerita itu melalui link berikut.

Menarik untuk dibaca: Sesuatu yang Dipaksakan Itu Tidak Baik!

Fase Pro

Fase pendaki gunung yang berikutnya adalah fase pro. Setelah pernah punya pengalaman gak enak atau pernah melihat pendakian yang berbahaya.

Kini, sang petualang tersebut mulai belajar sedikit-sedikit tentang alam dan persiapan yang penting untuk dilakukan. 

Sehingga, petualang tersebut mulai rajin membaca buku tentang nutrisi, zoology & botany, campcraft atau yang lainnya.

Semua buku itu dibaca untuk memperkaya wawasan agar tidak mengalami kejadian yang serupa. Bukankah kerbau tidak akan masuk ke lubang yang sama dua kali?

Selain rajin menambah wawasan, petualang ini juga rutin melatih fisik tubuhnya. Kalau kamu mau tahu, dia bisa punya jadwal rutin dalam seminggu.

Salah satu ciri yang menonjol lainnya adalah memiliki waktu yang pasti. Agar pendakian yang dilakukan tetap sesuai dengan perencanaan awal.

Kalau kamu pernah ketemu pendaki yang seperti itu, semuanya akan dilakukan dengan terukur. Bahkan waktu istirahatnya pun dihitung. Semuanya harus terencana.

Kamu juga bisa melihatnya melalui event-event pendakian atau ekspedisi. 

Fase Woles

Setelah pernah berpacu dengan rangkain rencana super ketat dan waktu yang terukur. Umumnya, pendaki tersebut mulai cuek dengan waktu.

Tujuan mereka mendaki adalah untuk menghibur diri, sehingga mereka berusaha menikmati setiap langkah pendakian. Menghayati setiap hembusan nafas yang keluar.

Meskipun begitu, persiapan yang dilakukan juga tidak main-main. Karena mereka selalu merencanakan kemungkinan terburuk. Atau pendakian dalam waktu yang cukup lama.

Pointnya adalah kalau kamu mau mendaki dengan santai dan tidak diburu oleh waktu. Maka rencanakan pendakianmu sematang mungkin. 

Sehingga kamu sudah siap dengan segala kemungkinan yang terjadi. 

Fase Bosan

Semakin sering mendaki, semakin sering bercinta, lama-lama bosan juga. Dalam hubungan percintaan saja, saya yakin kamu pernah merasakan bosan kan?

Nah, yang terpenting adalah bagaimana cara kita untuk memanage rasa bosan tersebut. Sehingga tidak pindah ke lain hati. 

Nah sekarang, saya sedang merasa bosan. Setelah berusaha mencari tahu, ketika seorang pendaki gunung mulai bosan mendaki. 

Cara yang mereka lakukan untuk mengatasi rasa bosan itu. Sampailah saya pada dua pilihan yang cukup menarik.

Antara Ultralight Hiking, atau Trail Running. Berhubung kalau mau ultralight hiking harus pelan-pelan beli alat yang lebih ringan dan tentu harganya lebih mahal.

Alhasil saya tertarik untuk mencoba trail running. Alasan lainnya adalah lari sudah jadi dokter saya untuk berhenti merokok. Jadi, sekalian saja.

Apa Itu Trail Running

trail running adalah

Buat kamu yang belum tau, trail running secara sederhana bisa didefinisikan sebagai sebuah aktivitas berlari di luar track lari atau jalanan. 

Jadi, bisa dijadikan sebuah tantangan baru untuk mendaki gunung bukan? Apalagi kalau sudah bosan dengan suasana yang begitu saja dan menginginkan tantangan lebih besar. 

Oiya, dari beberapa artikel yang saya baca, trail running juga memiliki segudang manfaat. Namun yang perlu kita perhatikan adalah persiapannya.

Karena, fisik kita akan diuji habis-habis. Oleh karena itu, untuk bisa trail running gak bisa cuman modal nekat kayak mendaki gunung.

Sedari sekarang saya sedang melakukan persiapan untuk menggapai ambisi bisa ikut trail running. 

Kalau dibilang, masih banyak yang harus saya perbaiki. Mulai dari heart rate, otot, wawasan nutrisi dan P3K. 

Kalau kamu mau ikutin proses saya buat bisa menggapai trail running, tentu saya akan sangat berterimakasih. Udah dulu ya, nanti kita ketemu lagi 🙂

Udah dulu ceritanya yaa … Masih banyak cerita lainnya dari Insanus Mlaku yang gak kalah seru dan menarik. Yuk eksplore bareng.

See you!