Plakat puncak sindoro

Baru kali ini mendaki gunung Sindoro langsung ketemu bule cantik!

Juli 2018 merupakan pertama kali saya mendaki, selain gunung Slamet. Yap, sebagai anak desa yang tinggal dekat dengan gunung slamet, membuat saya sering mendaki gunung ini. 

Ketika hari besar, mengantarkan teman atau sekedar gabut saja. Sampai suatu ketika ayah saya berkata “Koe munggah slamet terus, duite ditabung nggo munggah gunung liane

Benar juga ya, selama ini saya hanya mendaki satu gunung. Kata orang-orang yang sudah sering mendaki gunung, kalau sudah sukses menaklukan gunung tertinggi di jawa tengah ini bakalan enak untuk mendaki gunung-gunung lain yang ada di kawasan Jawa Tengah. 

Bermodalkan kata-kata yang belum saya buktikan sendiri, saya mengajak geng saya untuk mendaki salah satu gunung yang dijuluki gunung kembar.

Gunung Sindoro pilihan kami saat itu, meskipun Gunung Sumbing tampak menggairahkan. Tidak heran kalau dua gunung ini mendapat julukan gunung kembar, selain letaknya yang berhadapan. 

Rasa-rasanya ada hal magis yang membuat para pendaki gunung Sindoro seakan harus mendaki gunung sumbing, mungkin juga bentuk kecemburuan, entahlah. Wallahu’alam.

Awalnya kami hanya mendaki ber-6. Rico, Bayu, Dian, Erin, Bu guru (kakanya dian), dan saya. Saya meminta mempersiapkan segala sesuatunya sebaik mungkin, dan selengkap mungkin. 

Berbekal pengalaman kehabisan logistik ketika mendaki di gunung Slamet, akhirnya membuat saya gagal untuk ke puncak. Sedikit trauma hal itu terjadi lagi, makanya saya dengan tegas meminta untuk mempersiapkannya sebaik dan selengkap mungkin.

Dibalik Sebuah Pendakian

Rencana mendaki gunung sindoro yang memiliki ketinggian 3153 mdpl ini bermula dari rasa rindu saya yang kian menjadi. 

Kerinduan ini sudah tidak bisa dipendam lagi, membayangkan dinginnya udara pegunungan, bercengkrama di tenda, bertemu orang baru sampai ledek-ledek’an sesama pendaki – selalu terngiang-ngiang di kepala saya waktu itu.

Ada satu lagu yang cocok untuk menggambarkan perasaan saya pada waktu itu. “Aku mau makan kuingat kamu, aku mau tidur juga kuingat kamu, aku mau pergi kuingat kamu..bla bla bla”

Jika alasan untuk pergi sudah didapatkan, langkah selanjutnya adalah mencari partner atau teman pendakian. Masalah yang sering dialami oleh para pelajar ‘banyak rencana, tidak ada teman yang mau mendampingi’.

Dari sekian teman yang saya hubungi untuk diajak mendaki bersama, meluangkan sabtu malamnya bersama teman di tempat yang sukar dilupakan. 

Cuman Rico yang membalas cepat dan pasti ‘gaskeun mad’. Rencana awalnya kami cuman mendaki berdua, sepasang yang melawan. 

Tapi, ketika mulai menyusun strategi untuk bisa mencapai puncak sindoro, terselip sebuah masalah, yaitu pendanaan terutama untuk masalah logistik.

Munculah ide cemerlang dari rico untuk mengatasi masalah tersebut, mengajak teman lain kalau bisa sih perempuan. 

Selain bisa membuat suasana pendakian jauh lebih romantis, peran lain dari mengajak teman perempuan adalah keperluan logistik kami bisa sedikit terjamin, cenderung mewah malahan.

Entah kenapa, para kaum hawa ini selalu memiliki jumlah uang yang lebih ketika diajak bepergian. Padahal ya.. kalau diitung-itung uang jajan anak laki-laki dan perempuan jauh lebih besar anak laki-laki. 

Kalau diitung per hari ya.. dari beberapa teman perempuan yang saya tanya mengenai uang jajan ini. Banyak dari mereka yang mengaku, diberikan uang jajan itu mingguan atau bulanan, bukan harian.

Kalau anak laki-laki kan biasanya harian, itu juga pasti abis tiap harinya. Kalau ada rencana ngetrip barulah kita para kaum adam mulai sedikit menghemat, minimal ada yang ditabung-lah tiap harinya.

foto kami di puncak sindoro
Dari atas ke bawah : Saya, Bayu, Rico, Erin, Bu Guru, Dian

Berawal dari masalah dan ide cemerlang Rico untuk menyelesaikan masalah itu, hadirlah 3 orang perempuan, yaitu: Erin, Dian, dan Bu Guru. 

Ternyata, salah seorang teman lainnya mengetahui rencana kami untuk mendaki ke gunung sindoro. Bayu, meminta untuk ikut bergabung dan pergi mendaki bersama. 

Terciptalah grup pendakian beranggotakan 6 orang, 3 perempuan dan 3 laki-laki. Jumlah yang seimbang, untuk berpasang-pasang bukan?

Kami ber-lima merupakan teman satu sekolah, sudah lumayan akrab dan mengerti satu sama lain. Sosok yang asing bagi kami para lelaki ya… si Bu Guru itu. Normal gak sih kalau kita penasaran, apalagi sama lawan jenis ya kan? 

Pertanyaan kami, kepada dian adalah “Ian mbekayumu ayu apa ora?” sekarang, pertanyaan itu menurut saya nyeleneh si. Mungkin tidak saat itu, entah apa yang saya pikirkan waktu itu.

Untuk menghindari berbagai pertanyaan lanjutan, dian cuma mengatakan “ya ngonoh kenalan dewek, tuli mengko ngerti”. Hmm, okelah tantangan di terima!

Perencanaan sebelum pendakian

Seperti yang sudah sayang singgung sebelumnya, saya punya pengalaman yang cukup buruk ketika mendaki. Karena kurangnya persiapan, logistik saya habis sebelum waktunya. Mungkin saat itu Tuhan masih mencintai hamba yang penuh dosa ini, sehingga hanya diperingatkan dengan logistik habis.

Kalau pada waktu itu peringatannya adalah saya harus menghadap-Nya, mungkin saja sekarang saya tidak bisa menulis cerita ini. So, penting banget ya mempersiapkan segala sesuatunya. 

Karena kita bermain dengan alam yang tidak terprediksi, sudah dipikirkan dengan matang saja masih memiliki resiko yang besar, apalagi kalau tidak dipikirkan dengan matang, alias asal-asalan.

Kami mempersiapkan segala sesuatunya melalui grup Whatsapp yang diberi nama “bismillah sindoro”. List perbekalan, peralatan, dan riwayat penyakit, kami diskusikan di grup itu. 

Mungkin, kalau kami berangkat hanya berdua (saya dan rico). Untuk memenuhi segala kebutuhan kami selama di gunung sindoro, kami akan menjadi maling sejenak.

Tenang aja… profesi ini aman dari hukum yang berlaku di negara kita tercinta ini kok, meskipun terkadang hukum memang tajam ke bawah tumpul keatas. 

Maling apakah kami ? yap, menjadi maling di dapur ibu. Jujur selama ini saya cuman meminta izin untuk membawa beras seperlunya ketika mendaki. 

Dapur itu tempat berkumpulnya segala macam bahan makanan kan ya?? terkadang ada bahan makanan yang cukup menggiurkan. Jadi yaa saya ambil aja, maafkan daku ibu :)

Setelah pembahasan di grup dirasa sudah fix dan cukup matang, waktunya kita bertemu dan membicarakan teknisnya. 

Entah hanya saya, atau rico dan bayu merasakan hal yang sama. Penasaran dan deg-deg’an akan sosok bu guru yang selama ini belum kami lihat. Sehari sebelum pertemuan itu, dian mengatakan ada dua temannya yang meminta mendaki bersama.

Terlanjur ramai, apa salahnya ditambah lagi personel biar seru. Ternyata dua orang yang dimaksud oleh dian adalah hara dan satu lagi lupa, maap. 

Saya dan hara cukup mengenal satu sama lain, karena kami berangkat dari organisasi pecinta alam. Lumayan-lah relasinya untuk urusan begini. Tempat pertemuan kami waktu itu adalah rumah Dian yang beralamatkan di desa Slinga, Kec. Kaligondang, Kab. Purbalingga

Di hari itu, terjawab sudah rasa penasaran kami akan sosok bu guru ini. Sungguh tak disangka-sangka paras wajahnya mirip sekali dengan guru kami di smk yang bernama bu Irfie -- Seperti bidadari. 

Tidak jelek,tidak hitam,hidung mancung, kulit putih, bersih, merah merona, sangat natural. Karena kakanya dian ini mirip sekali dengan salah satu guru idola kami disekolah, kami-pun canggung untuk mengajaknya mengobrol, atau sekedar berkenalan.

Untungnya kakanya dian ini mengajak berkenalan terlebih dahulu, mengayomi dan sangat keibugan. Fix! Saya harus cari istri seorang guru, yang suka mendaki. 

Kalau dikabulkan, tidak dikabulkan juga – tidak papa. Semoga sama “DIA” ya allah, semogaa. Semua bilang apa ?!!? Aaaamiin.

Setelah beberapa saat basa-basi, kami akhirnya mendiskusikan kembali tentang apa-apa saja yang sudah di list di grup WA. 

Ada yang dicoret, ada yang ditambah, dan yang terpenting pembagiannya. Kami para lelaki memilih logistik yang paling murah atau tersedia di dapur ibu kami tercinta. Sisanya urusan para perempuan. Huh! Laki-laki macam apa kami pada waktu itu.

Logistik kelar, beralih ke peralatan. Peralatan kami tidak selengkap sekarang mungkin, atau masih sama saja ya ? entah lah, lupa udah lama banget gak mendaki lagi. 

Ada beberapa barang juga yang dipinjam teman, dan pulangnya entah ke rumah siapa.Jadi, untuk melengkapi peralatan yang kurang, kami menggunakan jasa sewa peralatan outdoor yang sudah cukup banyak di Purbalingga. 

Pembahasan terakhir adalah tikum sebelum berangkat menuju basecamp pendakian. Oya, kami memutuskan untuk mendaki gunung sindoro via kledung, jalur yang sangat terkenal di kalangan pendaki.

Singkatnya, kami berangkat malam hari dari rumah dian ber-enam ditambah hara dan satu temanya.

Drama sebelum perjalanan menuju basecamp

Kesel gak sih, kalau ada dari personel pendakian yang menggampangkan tugasnya dalam membawa sesuatu di hari H keberangkatan. 

Padahal dia sendiri yang memilih untuk membawa sesuatu itu. Saya ingat betul, ada beberapa barang yang lupa dibawa oleh personel dari tim pendakian waktu itu. Alhasil, waktu terbuang percuma untuk mencari kekurangan barang itu.

Harusnya sudah dijalan dan memulai petualangan, ini masih berkutat sama masalah logistik, sial!. Ditambah lagi ada beberapa yang belum mendapatkan Carrier dan Matras, makin pusing aja ini kepala. Tidak masalah si sebenernya kalau ada uang buat sewa kedua barang tadi. 

Masalahnya budget kita buat sewa-menyewa sudah habis, tersisa untuk diperjalanan dan regis di basecamp.

Untungnya ada hara, dia salah satu pengurus aktif di organisasi pecinta alamnya. Sehingga saya memintanya untuk mengambil carrier dan matras milik organisasinya terlebih dahulu. Ingat kawan, utamakan yang gratis! 

Baru berbayar, oke? namun sayang, matras yang didapat tidak sesuai. Dan tas carriernya, sangat berat. Kosong saja berat apalagi sudah diisi dengan berbagai macam barang, ampun deh. 

Mau gak mau tas carrier ini harus nyewa, dan uang untuk menyewanya menggunakan uang saya. Nombok….nombok, cuman ya begitulah suka-dukanya mendaki dengan banyak orang.

Kita harus bertanggung jawab untuk memastikan kenyamanan dan keselamatan para teman yang kita ajak. Sebelum berangkat kami sedikit packing logistik ke tas, biar mudah dibawanya saat di perjalanan. 

Packingnya belum sempurna, dan gak semua barang yang kita bawa masuk ke tas kita. Maklum, asal-asalan, yang penting kebawa semuanya ke basecamp dulu deh.

Perjalanan menuju basecamp

Perjalanan menuju basecamp kami mulai di malam hari sekitar jam 9’an mungkin, pokoknya udah kelar urusan drama tadi, kita langsung pergi ke basecamp. 

Kami menggunakan kendaraan pribadi berupa sepeda motor sebanyak 4 buah. Hara berboncengan dengan temannya, Saya dengan bu Guru, Bayu dengan Erin, dan Rico dengan Dian.

Awalnya kami berkendara secara iring-iringan, saling melihat dan menjaga selama di perjalanan, supaya tidak terjadi sesuatu hal yang tidak kita inginkan. 

Tidak ada leader dalam perjalanan ini, karena kami semua bermodalkan Google Maps, teknologi sudah semakin canggih harus kita manfaatkan sebaik mungkin dan untuk hal positif tentunya.

Rest-area pertama kami adalah alun-alun Banjarnegara, disitu kami beristirahat cukup lama. Ada yang buang air kecil, ada yang makan, ada yang tidur, yang ngerokok juga, dan yang paling kocak adalah yang gak ngapa-ngapain. Kasian banget hidupnya aseli, membosankan.

Setelah melanjutkan perjalanan dari rest-area kami yang pertama ini, perjalanan selanjutnya di lakukan dengan semau kami. 

Terkadang memang membosankan kalau harus mengendarai sepeda motor dengan kecepatan 60 km/jam. Apalagi untuk jarak yang lumayan jauh, bikin ngantuk bos. Bayu memulai menggeber motornya dahulu,  disusul dengan rekan-rekan.

Ketika adrenalin sudah mulai meningkat dan mengusir kantuk, kami berjalan dengan kecepatan normal sembari menikmati perjalanan. 

Oya, mau tanya nih, kalian gak mikirin perasaan saya ? berboncengan dengan bu guru, baru dikenal lagi. Beh keringet dingin bos. Saya ini kan orangnya tidak pandai memulai, toh kalau memulai duluan sudah pasti monoton dan membosankan.

Saya coba mengobrol dengan bu guru mengenai pengalaman dia, mulai dari pendakian, sekolah, percintaan sempat saya singgung sedikit. 

Siapa tau berjodoh kan yak, siapa tau. Tapi waktu itu, saya belum siap harus punya saudara seperti dian. Hehehe

Ternyata setelah obrolan pertama itu, kami jadi asik mengobrol, keasikan malah. Lagi asyik-asyiknya ngobrolin banyak hal, eh si bayu mulai ngebut lagi, biar cepat sampai katanya. 

Yasudah, obrolan kami sudahi, dan saya mulai menambah kecepatan sepeda motor ini.

Karena kejadian ini, kami terpisah jauh sekali. Saya orang kedua sampai ke basecamp setelah hara, tapi yang teman-teman tidak tau. 

Saya dan bu guru sempat nyasar sebentar ke arah jalur pendakian gunung sumbing, untungnya aja handphone bu guru masih dapat sinyal, jadi bisa buka google maps.

Andai saja waktu itu handphone bu guru ini tidak mendapatkan sinyal, mungkin saja saya dan beliau akan camping di tempat lain berdua. Aduhai romantis sekali, siapa tau berjodoh…siapa tau..

Singkat cerita kami sampai di basecamp gunung sindoro via kledung sekitar pukul 1’an dini hari. Kami beristirahat sejenak dan mempersiapkan tempat untuk tidak, menyiapkan energi untuk esok hari.

Bersambung dulu yaaa kawan mlaku, hehe. Nanti saya perbaharui lagi ceritanya. Pastikan kawan mlaku mendaftarkan email kawan mlaku, agar tidak ketinggalan lanjutan ceritanya. Terimakasih…

See you!