Foto gedung Sate Bandung
Photo by ArfanHusni Hasibuan on Unsplash

 Belum ke Bandung kalau belum pernah ke Gedung Sate…

Bandung dan Gedung Sate ibarat dua sisi mata uang yang tak bisa dipisahkan. Gedung peninggalan pemerintah Hindia-Belanda ini sarat akan sejarah bagi bangsa Indonesia. 

Bagaimana tidak, dahulu kala Gedung Sate merupakan pusat pemerintahan di era Hindia-Belanda.

Pemindahan ibu kota dari Batavia ke Bandung pada era penjajahan dulu didasari sebuah alasan.

Iklim kota Bandung cocok dengan iklim kampung halaman para penjajah. Konon katanya iklim kota Bandung setara dengan iklim Perancis selatan pada musim panas.

Asal-usul Gedung Sate

Pada awalnya, Gedung Sate lebih dikenal dengan nama Gedung Gebe. Penamaan tersebut diserap dari singkatan GB (Gouvernements Bedrijven).  

Gouvernements Bedrijven adalah megaproyek era pemerintah Hindia-Belanda yang diproyeksikan sebagai area pusat pemerintahan.

Namun nahas, pada tahun 1930 krisis moneter menimpa Belanda. Imbasnya, pembangunan mega proyek tersebut terkendala. 

Dari total 14 kantor departemen dan kantor instansi lainnya yang direncakan untuk dibangun diatas lahan seluas 27 hektar.

Pemerintah Hindia-Belanda hanya mampu membangun dua Gedung yakni Gedung Sate dan Kantor Pos.

Pada tanggal 27 Juli 1920 adalah hari bersejarah bagi pemerintah Hindia-Belanda. Pada hari itu telah terjadi upacara peletakan batu pertama pembangunan Gedung Sate. 

Upacara tersebut dihadiri oleh Johanna Catherina Coops dan B. Coops (Wali Kota Bandung) serta Petronella Roelofsen yang mewakili Gubernur Jenderal di Batavia.

Johanna Catherina Coops sebagai putri tertua sang Wali Kota Bandung bertugas untuk meletakan batu pertama Gouvernements Bedrijven.

Proses pembangunan Gedung Sate membutuhkan 2.000 orang pekerja dan 150 orang pemahat yang berasal dari berbagai kawasan di sekitar Bandung. 

Pembangunan Gedung Sate membutuhkan waktu 4 tahun lamanya, tepatnya pada September 1924 pembangunan Gedung Sate rampung.

Terdapat bagian pada musem Gedung Sate yang disengaja 'ditelanjangi'. Bagian tersebut adalah pondasi gedung.

Melansir dari detik.com, Sonny Indra Laksana selaku edukator Museum Gedung Sate, mengatakan "Memang sengaja (dikupas). Tujuannya agar masyarakat tahu dalamnya".

Sonny juga menambahkan bahwa batu yang digunakan sebagai pondasi merupakan batuan kali dari Bandung Timur.

Arsitektur Gedung Sate

upacara peletakan batu pertama gedung sate

Repro dari buku Balai Agung di Kota Bandung karya Haryoto Kunto

Melansir dari berbagai literatur yang ada, maestro dibalik indahnya Gedung Sate adalah Ir.J.Gerber, Ir. Eh. De Roo, Ir. G. Hendriks, dan Gemeente van Bandoeng yang dipimpin oleh Kol. Pur. VL. Slors.

Kendati demikian, masih ada beberapa tokoh yang mempertanyakan J. Gerber sebagai arsitek Gedung Sate.

Gedung Sate memiliki beberapa paduan gaya arsitektur dalam bentuk bangunannya. 

Gedung ini menggunakan model Rennaisance Italia, desain jendela mengusung konsep Moor Spanyol, dan bagian atap yang mengadopsi arsitektur Asia seperti pura di Bali atau pagoda di Thailand. 

Bagian atap Gedung Sate terdapet ornamen yang mirip tusuk satai. 

Ornamen tersebut berfungsi sebagai penangkal petir. Siapa yang menyangka jika ornamen yang mirip tusuk satai tersebut menyimpan nilai sejarah. 

Pasalnya ornamen tersebut menjadi simbol dari biaya yang dikeluarkan pemerintah Hindia-Belanda untuk membangun Gedung Sate.

Ornamen dengan jumlah 6 buah tersebut menyimbolkan 6 juta gulden atau setara Rp 45 milyar biaya yang dikeluarkan pemerintah Hindia-Belanda.

Prasasti di Gedung Sate

Tepat pada tanggal 17 Agustus 1945, Ir. Soekarno membaca teks proklamasi. Pembacaan teks proklamasi tersebut adalah tanda bahwa Indonesia telah merdeka. 

Seluruh elemen masyarakat merakan dengan penuh suka cita. Aset-aset penting berhasil direbut dan dikuasai oleh bangsa Indonesia. Salah satunya adalah Gedung Sate.

Namun suka cita bangsa Indonesia tak berlangsung lama. Tepat pada tanggal 3 Desember 1945 pertempuran kembali pecah di Gedung Sate. 

Pasukan tentara sekutu (NICA) dengan persenjataan lengkap dan modern melawan 21 orang pemuda dari Gerakan Pemuda Pekerjaan Umum.

Para pemuda tersebut berjuang dengan sekuat tenaga untuk mepertahankan Gedung Sate agar tetap berada di tangan pemerintah Indonesia. 

Pertempuran berlangsung selama 4 jam dan menelan 7 orang korban dari pemuda Indonesia, sementara 14 orang sisanya memilih mundur.

Jasad dari pemuda yang telah gugur hilang entah kemana. Barulah pada tahun 1952, 3 jasad dari 7 pemuda ditemukan dan sisanya masih menjadi misteri.

Untuk mengenang peristiwa heroik tersebut dibuatkan prasasti yang terletak di belakang halaman Gedung Sate. 

Pada tanggal 3 Desember 1970, prasasti batu tersebut dipindahkan ke halaman depan Gedung Sate atas perintah Menteri Pekerjaan Umum.

Gedung Sate merupakan bangunan penting dan bersejarah bagi Indonesia. Sebagai generasi penerus merupakan suatu kewajiban untuk meneladani semangat para pejuang kemerdekaan serta merawat peninggalannya.

Kalau bukan kita, siapa lagi?

Kalau bukan sekarang, kapan lagi?

See you!